Mohon tunggu...
Dee Daveenaar
Dee Daveenaar Mohon Tunggu... Administrasi - Digital Mom - Online Shop, Blogger, Financial Planner

Tuhan yang kami sebut dengan berbagai nama, dan kami sembah dengan berbagai cara, jauhkanlah kami dari sifat saling melecehkan. Amin.

Selanjutnya

Tutup

Money

Anggito, Berapa Sih Harga Dirimu?

1 Juni 2010   03:09 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:50 839
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_155104" align="alignleft" width="150" caption="Anggito Abimanyu"][/caption]

Seiring dengan penunjukan Menteri Keuangan yang baru Agus Martowardojo dan wakil menteri keuangan Anny Ratnawati maka Anggito Abimanyumengajukan pengunduran dirinya selaku Kepala Badan Kebijakan Fiskal(KBF). Lebih lanjut Anggito mengungkapkan kekecewaannya pada lingkungan Istana Kepresidenan karena tak ada konfirmasi dan pemberitahuan kepada dirinya soal pembatalan penunjukkan selaku wakil Menteri Keuangan. Padahal Anggito sudah menandatangani pakta integritas dan kontrak kinerja soal jabatannya sebagai wakil Menkeu.

“Saya tidak mencari jabatan. Ini soal pertaruhan HARGA DIRI professional saya yang terusik…”, demikian lanjut Anggito.

Saat ini Anggito Abimanyu sudah mengembalikan fasilitas mobil dan rumah dinas….(Kompas, 30 Mei 2010)

Ahaa…masalah harga diri, jadi ingat beberapa tahun lalu saat persoalan HARGA DIRIdan professionalisme muncul dalam format yang lain. Saat itu aku bekerja pada perusahaan swasta milik anak seorang pejabat negara yang secara stereotip juga berarti bahwa proyek-proyek yang kami dapat berasal dari departemen yang Bapaknya pimpin. Dan aku dinobatkan sebagai Liason Officer yang mondar-mandir di dalam sana karena mereka enggak mau si anak terlalu menyolok “bermain”. Siang itu aku memasuki ruang kerja si Bapak dan di sana sudah ada Robin – sopir keturunan Batak yang setia bertahun bekerja di keluarga Bapak. Aku duduk di hadapan meja kerja Bapak dan dia melanjutkan perepetannya yang sejenak terhenti karena kedatangank,”Lo tau enggak biarpun nenek mooooyang elo bangkit dari kubur, gak sanggup juga bayar biaya reparasi mobil yang dah elo ancurin.” Si Robin memang baru saja bikin beset-beset parah mobil Jacguar si Bapak yang 100% CBU karena menghindari tabrakan. Aku langsung melihat airmuka Robin berubah dan terus terang aku juga gak tega dengerin omelannya itu, “Ya udah Pak dibawa aja ke Ketok Magic…biasanya mah lebih murah.” Si Bapak langsung menjerit, “Whaaaat???”, tangannya mencengkeram buku directory bisnis segede gaban yang ada di depannya, merobek-robek dan mengangkatnya seraya mengambil ancang-ancang ntuk dilempar. Aku dah langsung siap-siap nge’les eh enggak taunya tuh buku dilempar ke Robin…aku langsung ngibrit pamitan keluar.

Besokannya aku ngajuin surat resign ke Bossku si anak pejabat itu – resignku ini sebenarnya enggak ada hubungannya dengan tragedi buku itu tapi karena memang aku mendapat tawaran lain dengan kondisi lebih baik. Siangnya aku masih kerja biasa dengan jadwal ke Departemen itu untuk ketemu Pimpro dan bagian terkait lain. Abis itu seperti biasa aku ke tempat Bapak buat laporan, disana dia pas-pasan ada di depan meja sekretarisnya yang terletak di depan pintu masuk ruang kerjanya. Begitu Bapak ngelihat aku, beliau langsung bergegas menghampiri dan memelukku erat sampai aku enggak bisa napas, “Veen, maafkan aku kemarin - aku enggak sengaja out of control dah ngelemparin buku itu.” Aku sebenarnya tidak mengira sama sekali dia bakalan bereaksi seperti itu tapi otak iseng ntuk berkreasi sebagai drama queen langsung muncul-begitu dia melepaskan pelukannya, aku langsung bicara,” Walaupun puluhan tahun perempuanmu itu tahan dengan kekasaranmu…catat baik-baik aku tidak suka pria kasar.” Mukanya langsung berubah geli banget, trus dia meraih kepalaku dan mengacak-acak rambutku, ”Owalah dasar Cah gendeng, Ibumu sendiri kau sebut perempuanmu…” Dia dan sekretarisnya ketawa ngakak sementara aku sibuk mberesin poni bak Karla dalam sitcom Suami-Suami Takut Isteri.

Keluarga itu tidak memiliki anak perempuan dan umurku yang sebaya dengan bungsunya membuat aku “dianggap” sebagai anak perempuan dalam keluarga itu. Singkat kata urusan dengan Robin beres dan karena tekadku sudah bulat untuk pindah maka Bapak dan keluarga cuman bisa merelakan kepergianku malah Bapak dan Ibu banyak memberikan pesangon.

Bicara masalah Harga Diri aku jadi teringat beberapa minggu lalu dalam acara John Pantau di Trans TV menyoroti kehidupan manusia sampah di Bantar Gebang . Salah seorang pemulung yang sedang mengais sampah di gunungan itu ternyata Kepala Sekolah SMP Swasta Bekasi dan saat beliau ditanya apakah tidak malu menjalankan ‘side job’ seperti itu. Dengan lugas dia menjawab, “Ini pekerjaan halal, kenapa harus malu. Yang korupsi aja enggak malu, kok saya harus malu.”

[caption id="attachment_155105" align="aligncenter" width="205" caption="pemulung di bantar gebang"][/caption]

Terenyuh aku mendengarnya, walaupun saat itu dia sedang menjalankan tugasnya sebagai “manusia sampah”, aku yakin dimata banyak orang yang memiliki hati nurani dan pastinya dimata Sang Khalik -Pak Kepala Sekolah ini menempati posisi yang sangat terhormat.

Harga Diri…sering menjadi dualisme, seberapa kita menghargai diri sendiri secara tidak disadari sering tergantung akan harapan kita pada penerimaan dirioleh orang lain..

Padahal orang lain menilai diri kita berdasarkan pengharapan akan timbal balik yang bakalan diterima…

So yang kau sangka Tinggi ternyata adalah Rendah…bukankah lebih baik kita bersemboyan pada kata “How Low can You Go”?

Beberapa contoh yang kutulis menggambarkan bagaimana orang bersangkutan berhasil menghargai diri sendiri dengan baik – Anggito Abimanyu, Kepala Sekolah yang Pemulung itu, bahkan Robin dengan tunduknya itu….

Teringat pada ”Muqaddimah” fasal ke-23, Ibnu Khaldun: Fi anna al-maghluba mula’ abadan bi al-iqtida’ bi al-ghalibi fi shi’arihi wa ziyyihi wa nihlatihi (Perihal bahwa mereka yang kalah selalu “tergila-gila” untuk meniru mereka yang menang menyangkut ciri-ciri fisik, pakaian, mazhab pemikiran, segala bentuk kebiasaan dan adat mereka). Sumber foto: Google.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun