[caption caption="Tol Becakayu yang Tak Ayu | Foto: Kompas/Agus Susanto"][/caption]Saat ini pemerintah sedang membangun jalan Tol Bekasi-Cawang-Kampung Melayu atau sering disebut Tol Becakayu. Tol Becakayu direncanakan dibangun sejak era Soeharto. Proyek itu macet karena krisis ekonomi yang melanda Indonesia.
Pada tahun 2008, beberapa media massa mengabarkan bahwa proyek tol Becakayu akan diteruskan. Namun, pada tahun itu pula muncul surat yang ditandatangani Deputi Bidang Tata Lingkungan Kementerian Negara Lingkungan Hidup tertanggal 5 Februari 2008, yang menyatakan bahwa proyek jalan tol Becakayu belum memiliki amdal (analisa mengenai dampak lingkungan). Proyek pun ditunda.
Kini proyek Tol Becakayu kembali dibangun. Apakah sekarang proyek itu sudah memiliki amdal?
Kemarin, saya dihubungi via telepon seorang warga terdampak lokasi proyek tol Becakayu. Warga tersebut menghubungi saya, karena saya pernah mempertanyakan Amdal proyek Tol Becakayu pada 2008.
Warga tersebut mempertanyakan keberadaan Amdal dari proyek Tol Becakayu. Warga itu kecewa terhadap pembangunan tol Becakayu. "Sebelum adanya pelaksanaan kegiatan pembangunan Tol Becakayu, sekitar bulan desember 2014 warga dimintai tanda tangan oleh Ketua RT yang katanya di lokasi dekat tempat tinggal kami akan digunakan untuk lokasi penyimpanan peralatan/kendaraan berat," ujar warga terdampak proyek Tol Becakayu, "Namun pada kenyataannya lokasi tersebut dijadikan Batching Plant (pencampuran bahan material seperti semen, pasir, batu split). Kami merasa dibohongi oleh pihak pemrakarsa. Kami ingin mengetahui, apakah lokasi Batching Plant ini telah dimasukkan ke dalam dokumen AMDAL?"
Padahal, dampak yang ditimbulkan dari kegiatan penggalian tanah untuk konstruksi tiang jalan tol dan kegiatan di Batching Plant adalah meningkatnya produksi debu (campuran tanah, pasir, semen atau mungkin zat kimia lainnya) dan suara bising selama 24 jam. Di sekitar lokasi, banyak warga yang sudah mulai merasakan dampak dari debu tersebut seperti mata pedih/sakit mata, ISPA, batuk, diare, kulit gatal dan sesak nafas.
"Kami secara perorangan telah meminta pertanggungjawaban pihak pemrakarsa proyek tol Becakayu untuk menanggulangi dampak tersebut, namun tidak ada upaya optimal dari pemrakarsa," jelas warga, "Setelah kami protes berkali-kali dan debu sudah semakin tebal sampai masuk ke dalam rumah, akhirnya pemrakarsa proyek tol Becakayu mengirimkan stafnya untuk mengecek kondisi debu di tempat tinggal kami (luar dan dalam rumah), dan mendokumentasikannya/foto, namun tidak ada tindak lanjutnya. Pemrakarsa baru melakukan penyiraman jalan dan itu pun masih belum maksimal (penyiraman baru mulai dilakukan 27 Oktober 2015 dan hanya berlangsung 4 hari). Apakah harus jatuh korban dari kami dahulu? Dimana tanggung jawab pemrakarsa?"
Saya pun tertunduk lesu mendengar penjelasan warga terdampak proyek tol Becakayu. Di era keterbukaan ini ternyata masih saja hak-hak warga dengan mudah diabaikan atas nama pembangunan yang belum tentu menguntungkan banyak orang. Saya pun berpikir jika dampak lingkungan hidup pada saat konstruksi saja bisa diabaikan, bagaimana dampak lingkungan hidup setelah jalan tol Becakayu jadi. Pembangunan tol itu jelas akan memfasilitasi pertumbuhan penggunaan kendaraan bermotor pribadi. Dan itu artinya akan menambah kemacetan dan polusi udara di Jakarta dan juga Bekasi. Apakah dampak buruk itu juga sudah diperhitungkan?
Saya juga berpikir, jika jalan tol Becakayu saja sudah menimbulkan dampak lingkungan hidup, bagaimana dengan rencana pembangunan 6 tol dalam kota Jakarta?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H