Mohon tunggu...
Firdaus Cahyadi
Firdaus Cahyadi Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis, Konsultan Knowledge Management, Analisis Wacana, Menulis Cerita Perubahan dan Strategi Komunikasi. Kontak : firdaus(dot)cahyadi(at)gmail.com

Firdaus Cahyadi, penikmat kopi dan buku. Seorang penulis opini di media massa, konsultan Knowledge Management, Analisis Wacana di Media, Menulis Cerita Perubahan dan Strategi Komunikasi. Untuk layanan pelatihan dan konsultasi silahkan kontak : firdaus(dot)cahyadi(at)gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik

Saat Gibran Promosikan Solusi Palsu Transisi Energi

27 Desember 2023   11:37 Diperbarui: 27 Desember 2023   11:57 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Aksi 350.org Indonesia di Hari Bumi. Sumber: documentasi aksi 350.org Indonesia

Pada debat calon wakil presiden (cawapres) beberapa waktu yang lalu, cawapres Gibran sempat mempromosikan energi hijau yang barbasis bio fuel sawit. Sekilas tak ada persoalan dengan energi hijau, namun bila kita telisik lebih daam, akan nampak bahwa energi hijau yang dipromosikan Gibran saat debat cawapres itu adalah solusi palsu transisi energi.

Apa itu solusi palsu transisi energi?

Solusi palsu transisi energi adalah energi yang diberikan label 'hijau' dan diklaim mampu mengurangi gas rumah kaca (GRK), penyebab krisis iklim, namun faktanya justru menimbulkan kenaikan GRK dan berdampak buruk secara sosial bagi masyarakat sekitar.

Lantas, kenapa energi hijau berbasis sawit, yang dipromosikan cawapres Gibran, termasuk solusi palsu transisi energi?

Pertama, perkebunan sawit skala besar di Indonesia telah berkontribusi terhadap alih fungsi hutan menjadi perkebunan monokultur skala besar. Alih fungsi hutan secara besar-besaran justru akan meningkatkan emisi GRK di atmosfir. Bahkan penggundulan hutan yang dipicu oleh perluasan perkebunan sawit juga mengancam keselamatan warga karena semakin rentan terkena bencana ekologi, seperti banjir di musim penghujan.

Laporan Greenpeace Indonesia dan lembaga ahli geospasial The TreeMap, menemukan sebanyak 3,12 juta hektare lahan perkebunan sawit berada di dalam kawasan hutan, termasuk diantaranya kawasan hutan lindung dan hutan konservasi. Ekspansi sawit yang merusak alam ini berpotensi akan semakin ugal-ugalan bial solusi palsu energi hijau berbasiskan sawit menjadi program pemerintah.

Kedua, ekspansi sawit juga berpotensi meningkatkan konflik agraria dengan masyarakat sekitar, termasuk masyarakat adat. Menurut catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA),  sepanjang tahun 2022 terdapat 212 konflik agraria. Menurt KPA, investasi dan praktik bisnis di sektor perkebunan kembali mendominasi sebagai penyebab konflik agraria, terutama pada perkebunan komoditi global kelapa sawit. Dapat dvibayangkan konflik agraria akan semakin meningkat bila ekspansi sawit makin ugal-ugalan akibat difasilitasi program energi hijau oleh pemerintah.

Publik tentu tidak menginginkan solusi palsu transisi energi yang justru akan merusak alam dan menimbulkan ketidakadilan sosial. Publik ingin transisi berkeadilan bukan solusi palsu yang melayani kepentingan segelintir elite di bisnis perkebunan skala besar dan energi fosil. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun