Pada debat calon wakil presiden (cawapres) beberapa waktu yang lalu, cawapres Gibran sempat mempromosikan energi hijau yang barbasis bio fuel sawit. Sekilas tak ada persoalan dengan energi hijau, namun bila kita telisik lebih daam, akan nampak bahwa energi hijau yang dipromosikan Gibran saat debat cawapres itu adalah solusi palsu transisi energi.
Apa itu solusi palsu transisi energi?
Solusi palsu transisi energi adalah energi yang diberikan label 'hijau' dan diklaim mampu mengurangi gas rumah kaca (GRK), penyebab krisis iklim, namun faktanya justru menimbulkan kenaikan GRK dan berdampak buruk secara sosial bagi masyarakat sekitar.
Lantas, kenapa energi hijau berbasis sawit, yang dipromosikan cawapres Gibran, termasuk solusi palsu transisi energi?
Pertama, perkebunan sawit skala besar di Indonesia telah berkontribusi terhadap alih fungsi hutan menjadi perkebunan monokultur skala besar. Alih fungsi hutan secara besar-besaran justru akan meningkatkan emisi GRK di atmosfir. Bahkan penggundulan hutan yang dipicu oleh perluasan perkebunan sawit juga mengancam keselamatan warga karena semakin rentan terkena bencana ekologi, seperti banjir di musim penghujan.
Laporan Greenpeace Indonesia dan lembaga ahli geospasial The TreeMap, menemukan sebanyak 3,12 juta hektare lahan perkebunan sawit berada di dalam kawasan hutan, termasuk diantaranya kawasan hutan lindung dan hutan konservasi. Ekspansi sawit yang merusak alam ini berpotensi akan semakin ugal-ugalan bial solusi palsu energi hijau berbasiskan sawit menjadi program pemerintah.
Kedua, ekspansi sawit juga berpotensi meningkatkan konflik agraria dengan masyarakat sekitar, termasuk masyarakat adat. Menurut catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Â sepanjang tahun 2022 terdapat 212 konflik agraria. Menurt KPA, investasi dan praktik bisnis di sektor perkebunan kembali mendominasi sebagai penyebab konflik agraria, terutama pada perkebunan komoditi global kelapa sawit. Dapat dvibayangkan konflik agraria akan semakin meningkat bila ekspansi sawit makin ugal-ugalan akibat difasilitasi program energi hijau oleh pemerintah.
Publik tentu tidak menginginkan solusi palsu transisi energi yang justru akan merusak alam dan menimbulkan ketidakadilan sosial. Publik ingin transisi berkeadilan bukan solusi palsu yang melayani kepentingan segelintir elite di bisnis perkebunan skala besar dan energi fosil.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H