Beberapa waktu lalu, pemerintah berhasil menggalang pendanaan untuk transisi energi. Skema pendanaan itu berama Just Energy Transition Partnership (JETP). Trilyunan rupiah akan diterima Indonesia untuk pendanaan transisi energi. Sebagian pendanaan itu berupa utang luar negeri yang nantinya harus dibayar publik sebagai pembayar pajak. Lantas bagaimana bila kemudian skema JETP itu digunakan untuk membiayai solusi palsu transisi energi?Â
"Kurangnya transparansi seputar kesepakatan Kemitraan Transisi Energi Baru senilai 20 miliar USD di Indonesia baru-baru ini membuat rencana investasinya dipertanyakan," ujar Team Lead 350.org Indonesia, Sisilia Nurmala Dewi . Pengumuman rekrutmen baru-baru ini untuk sekretariat JETP, bekerja sama dengan Bank Pembangunan Asia (Asia Development Bank/ADB), mengungkapkan bahwa solusi palsu transisi energi seperti penangkapan dan penyerapan karbon (carbon capture and sequestration/CCS) masuk dalam program prioritas JETP.
"Sangat disayangkan rencana Indonesia untuk memasukan solusi palsu CCS dalam  pembiayaan JETP," ungkap Sisilia Nurmala Dewi, "CCS adalah solusi palsu untuk memperpanjang penggunaan bahan bakar fosil."
Memasukan teknologi CCS, menurut Sisila, menyebabkan transisi energi dari fosil ke energi terbarukan akan makin lama. "Selama masih menggunakan energi fosil akan membebani pembayar pajak puluhan miliar dolar untuk lebih banyak subsidi bahan bakar fosil," ujarnya, "Sekretariat JETP perlu berhenti berfantasi tentang solusi palsu seperti CCS dan mulai menghadapi kenyataan dengan cara menghapus bahan bakar fosil secara bertahap."
Menurut Sisil, tidak adil bila perusahaan pencemar terus menghasilkan keuntungan dan eksekutif mereka menerima gaji besar-besaran sementara dunia sedang mengalami krisis iklim. "Jika ada, dana untuk penangkapan dan penyimpanan karbon harus berasal dari keuntungan perusahaan bahan bakar fosil. Teknologi pengurangan karbon harus fokus pada pengurangan substansial, bukan menunda pengurangan atau mengimbangi emisi," ujarnya.
Agar JETP benar-benar adil, lanjut Sisil, JETP harus menjadi sumber energi terbarukan yang berkelanjutan yang mempromosikan keadilan iklim. "Ini berarti memprioritaskan masyarakat yang tidak memiliki akses listrik, dan memberikan bantuan kepada pekerja yang terkena dampak selama transisi ke energi terbarukan, agar mereka tidak tertinggal," katanya, "JETP harus menjadi solusi bagi masyarakat, bukan bailout bagi perusahaan bahan bakar fosil yang tidak berniat menghentikan operasinya secara bertahap."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H