Seiring dengan meningkatnya bencana yang diakibatkan krisis iklim, beberapa bank menyatakan menghentikan pendanaan ke energi kotor batu bara. BNI memilih untuk membatasi pendanaan ke energi kotor batu bara tersebut.Â
Saat public expose BNI di bulan September 2022, Direktur Keuangan BNI Novita Widya Anggraini menyatakan komposisi kredit batu bara di emiten bank bersandi BBNI ini hanya mencapai 2 persen dari total kredit. BNI juga tidak berencana meningkatkan ekspansi ke sektor tersebut. Novita menuturkan langkah BNI untuk tidak meningkatkan ekspansi ke sektor batu bara karena mempertimbangkan komitmen perseroan dalam memperkuat aspek environmental, social, dan governance atau ESG. Pernyataan itu secara utuh dapat dibaca di sini.
Seriuskah BNI membatasi pendanaan ke energi kotor batu bara?
Hanya berselang 1 bulan dari pernyataan BNI di acara public expose, hasil penelitian Institute for Essential Services Reform (IESR) dalam laporan terbarunya berjudul "Indonesia Sustainable Finance Outlook 2023", yang dipublikasikan Oktober 2022, justru mengungkapkan bahwa alokasi kredit BNI untuk sektor energi kotor batu bara pada kuartal I 2022 sebesar 3,23% dari total portofolio kredit, atau setara dengan Rp 19,1 triliun dari jumlah portofolio kredit korporasi yang senilai Rp 193,2 triliun. Hasil penelitian IESR dapat dibaca di sini.Â
Pertanyaan berikutnya tentu saja adalah mana pernyataan yang benar? Pernyataan Direktur Keuangan BNI yang mengatakan BNI membatasi pendanaan ke batu bara sebesar 2% atau hasil penelitian IESR yang menyebut angka 3,23%? Perbedaan prosentase sekilas kecil, namun bila dinominalkan, angka itu cukup besar kontribusinya dalam perusakan alam dan konflik sosial di sekitar tambang atau PLTU (Pembangkit Listrik Tenaga Uap) serta penghancuran sistim iklim global melalui emisi gas rumah kaca yang diakibatkan pembakaran batu bara.Â
CEO BNI berulang kali mengatakan bahwa BNI adalah pelopor green bank, yang peduli terhadap kelestarian alam. Pilihan BNI yang masih mendanai energi kotor batu bara adalah titik lemah dari klaim itu. Tidak ada label green bank bila BNI masih terus mendanai energi kotor batu bara, penyebab kerusakan alam dan konflik sosial di tingkat lokal serta krisis iklim di tingkat global.
Di saat mulai muncul kesadaran baru tentang  pentingnya kelestarian alam dan energi terbarukan, kenapa CEO BNI justru memilih tetap berkontribusi dalam perusakan alam, konflik sosial dan krisis iklim melalui pendanaan ke energi kotor batu bara? Lantas, apakah nasabah BNI juga akan merelakan uang, yang mereka simpan di bank itu, digunakan untuk merusak alam melalui pendanaan ke batu bara?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H