Laporan IPCC, sebuah Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim, di akhir Februari 2022 mengungkapkan bahwa menghadapi berbagai bahaya iklim yang tidak terhindarkan selama dua dekade mendatang dengan pemanasan global 1,5 derajat celsius. Dengan begitu, meningkatkan dampak risiko yang timbul seperti gelombang panas, kekeringan dan banjir yang sudah melebihi ambang batas toleransi. Cuaca ekstrem terjadi bersamaan sehingga menimbulkan dampak berjenjang yang semakin sulit dikendalikan. Jutaan orang menghadapi kerawanan pangan dan air akut, terutama di Afrika, Asia, Amerika Tengah dan Selatan, pulau-pulau kecil, dan kutub utara.
Hari itu, 27 Februari 2022, sehari sebelum peluncuran laporan IPCC. Hari masih pagi. Jam menunjukan pukul 08.00 wib. Sekelompok mahasiswa dari komunitas fossil free Universitas Indonesia, UGM dan beberapa aktivis Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) berkumpul di  stasiun BNI, Jakarta Pusat. Mereka melakukan aksi simbolik mengajak BNI menghentikan pendanaan batu bara, penyebab krisis iklim.
Sebagian mahasiswa itu adalah nasabah BNI. Hal itu wajar karena, BNI kerjasama dengan 166 kampus di Indonesia. Supaya mahasiswanya menjadi nasabah untuk menyetor biaya pendidikan melalui BNI. Celakanya, di sisi lain bank BUMN papan atas itu justru masih mendanai batu bara, penyebab krisis iklim, yang mengancam kehidupan seluruh penduduk bumi.
Pada April 2021, Bank BNI misalnya, terlibat dalam pemberian kredit sindikasi pada Adaro.1. Adaro sendiri merupakan produsen batu bara terbesar kedua di Indonesia yang memiliki cadangan batubara sebesar 1,1 miliar ton.
Di pertengahan bulan Maret ini BNI akan mengadakan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Akankah para CEO dan pemegang saham BNI memperhatikan laporan ilmuwan tentang krisis iklim itu atau justru menutup mata?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H