7 September 2004. Adalah hari yang tidak bisa dilupakan oleh masyarakat Indonesia. Hari itu Cak Munir dibunuh di udara, saat dalam perjalanan menuntut ilmu ke Belanda. Sialnya, hingga kini otak pembunuhnya masih bebas berkeliaran.
Saya, pertama berjumpa dengan Cak Munir November 1995. Saat itu Cak Munir menjadi narasumber sebuah diskusi tentang kepahlawanan di Ruang Kaca, kantin kampus Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya. Sebelumnya mengenal Cak Munir melalui koran, karena ia gigih membela buruh Marsinah yang dibunuh di sekitar tahun 1993 an.
Berani. Satu kata itu yang mungkin paling tepat menggambarkan sosoknya. Dalam diskusi di siang itu, ia begitu keras melontarkan kritik terhadap militer. "Kenapa kepahlawanan selalu diidentikan dengan militer, padahal banyak pahlawan dari kalangan sipil lainya yang berjasa bagi negara," kata Cak Munir yang masih saya ingat hingga kini. Â Tahun-tahun itu menggugat dominasi militer adalah sebuah tindakan yang berani. Kita bisa diculik, dibunuh atau paling tidak dipukuli bila berani-berani menggugat militer di saat itu.Â
Keberanian Cak Munir saat itu, 'membakar' semangat orang-orang muda yang hadir dalam diskusi itu. Rata-rata yang hadir dalam diskusi itu adalah mahasiswa. Saya sendiri masih tergolong mahasiswa baru saat itu. Bagi saya yang berasal dari kampung, keberanian Cak Munir menggugat dominasi militer sangat menggugah. Di kampung saya, tentara sangat dihormati dan ditakuti. Tak heran banyak orang-orang tua yang mengidamkan anak-anaknya menjadi tentara, atau paling tidak memiliki menantu tentara. Singat kata, Cak Munir mampu membangkitkan semangat anak-anak muda kampung seperti saya ini yang memilih tidak menjadi tentara.
Hak Asasi Manusia (HAM) adalah persoalan krusial di saat orde baru berkuasa hingga kini. Bila di tahun 1990 an yang mengedepan adalah hak sipil dan politik (sipol), sejak Soeharto jatuh, mulai bergeser ke hak sosial, ekonomi dan budaya atau hak Ekosob. Mungkin sebagian orang Indonesia lebih banyak mengenal sosok Cak Munir sebagai pembela hak sipol. Wajar, karena perjuangan Cak Munir dilakukan di era otoritarian Orde Baru, saat hak sipol ditempatkan di kerajang sampah oleh rejim pemerintahan saat itu.
Tapi jangan salah, Cak Munir juga getol memperjuangkan hak ekosob. Cak Munir tercatat berkali-kali membela hak kaum tani yang sumber-sumber kehidupannya terancam digusur oleh penguasa ekonomi saat itu. Bahkan sejak mahasiswa di Universitas Brawijaya, Cak Munir telah membela kaum tani yang sawahnya akan digusur untuk perluasan kampusnya. Ya, Cak Munir memilih membela petani dan berhadapan dengan kampus tempatnya belajar.
Kini Cak Munir telah meninggalkan kita. Lantas, apakah spirit keberanian Cak Munir juga ikut hilang?
Untuk menjawabnya, lebih dulu kita perlu mendudukan Cak Munir dalam konteks tantangan jamannya. Di saat Cak Munir hidup dan berjuang, tantangan saat itu adalah menghadapi rejim yang otoriter, korup dan menindas. Saat ini, meskipun karakter rejim Orde Baru belum sepenuhnya hilang, ada tantangan baru yang harus dihadapi anak-anak muda saat ini. Tantangan itu adalah krisis iklim.
Perpaduan sempurna dari model pembangunan yang merusak dan krisis iklim yang datang lebih cepat dari yang diperkirakan (seperti laporan Panel Antar-pemerintah di bawah PBB tentang Perubahan Iklim, Intergovernmental Panel Climate Change/IPCC) menyebabkan Indonesia menjadi salah satu negara yang paling rentan terdampak krisis iklim. Bukan hanya ancaman ratusan kota pesisir yang tenggelam, namun juga kekeringan yang mengancam kehidupan kaum tani.
Meskipun terancam terkena dampak krisis iklim parah, pemerintah dan dunia usaha seperti enggan berubah. Bahkan sektor perbankan yang didominasi oleh bank BUMN justru menggelontorkan pendanaan ke proyek energi kotor batubara penyebab peruabahan iklim. Bahkan BNI, salah satu bank BUMN yang begitu gencar menarik nasabah baru dari anak muda, masih mendanai proyek energi kotor yang mangancam masa depan anak muda. "Ironisnya, BNI yang selama ini menyasar konsumen dari kalangan anak muda justru mendanai energi kotor yang mengancam masa depan mereka," ungkap ungkap Sisilia Nurmala Dewi, Koordinator 350.0rg untuk Indonesia dalam sebuah siaran persnya.
Semua pintu perubahan untuk mengatasi krisis iklim seperti sudah tertutup. Situasi dan kondisi ini mirip seperti saat Orde Baru berkuasa. Saat itu semua pintu untuk mengganti sistem yang militeristik, korup dan menindas juga sudah tertutup. Hampir tidak ada celah yang tidak dikuasai Soeharto dalam menjaga Orde Baru. Namun, justru di saat seperti itulah Cak Munir, menebar binih-binih perlawanan dengan satu tujuan, tirani harus tumbang.