Mohon tunggu...
Firdaus Cahyadi
Firdaus Cahyadi Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis, Konsultan Knowledge Management, Analisis Wacana, Menulis Cerita Perubahan dan Strategi Komunikasi. Kontak : firdaus(dot)cahyadi(at)gmail.com

Firdaus Cahyadi, penikmat kopi dan buku. Seorang penulis opini di media massa, konsultan Knowledge Management, Analisis Wacana di Media, Menulis Cerita Perubahan dan Strategi Komunikasi. Untuk layanan pelatihan dan konsultasi silahkan kontak : firdaus(dot)cahyadi(at)gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Financial

Sektor Perbankan Diam, Jakarta Tenggelam

31 Agustus 2021   11:45 Diperbarui: 31 Agustus 2021   11:52 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jakarta akan tenggelam dalam 10 tahun kedepan akibat perubahan iklim. Begitu kata Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden beberapa waktu yang lalu. 

Mungkin tidak perlu menunggu hingga 10 tahun kedepan untuk melihat Ibukota Indonesia tenggelam. Laporan IPCC (Intergovernmental Panel Climate Change) sebuah lembaga di bawah PBB menyebutkan bahwa perubahan iklim akan terjadi secara lebih cepat. 

Siapa yang harus bertanggung jawab atas ini semua? Setidaknya ada tiga pihak yang paling bertanggung jawab atas cepatnya perubahan iklim ini terjadi. Pertama, pemerintah. Kebijakan pemerintah yang tetap meneruskan model pembangunan yang bertumpu pada bahan bakar fosil, termasuk batu bara, adalah penyebab utama krisis iklim terjadi dengan lebih cepat. 

Kedua, para pemilik modal di perusahaan-perusahaan energi fosil. Keenganan mereka melakukan transisi ke proyek energi terbarukan, termasuk pemilik modal di sektor batu bara. Jangankah melakukan transisi energi munuju energi terbarukan, terhadap rencana pemerintah mengenakan kebijakan pajak karbon pun mereka menolak. 

Para pengusaha batubara melalui Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) mengininkan pembahasan mengenai pengenaan pajak karbon di dalam RUU KUP (Ketentuan Umum dan Tata Cata Perpajakan) ditunda. Bayangkan, di saat krisis iklim datang lebih cepat, para pengusaha itu justru minta pajak karbon ditunda. Mereka jelas-jelas menjadi pihak yang harus bertanggungjawab atas terjadinya krisis iklim

Kedua, sektor perbankan. Sektor perbankan ini memiliki peran sentral dalam ikut mengubah arah model pembangunan yang berbasis energi fosil. Kucuran dana dari sektor perbankan terhadap proyek-proyek energi kotor batu bara yang menyebabkan transisi energi terbarukan terhambat. 

Bagaimana tidak, selama periode Oktober 2018 hingga Oktober 2020, berdasarkan laporan lembaga urgewald ada 6 bank nasional yang masih memberikan pinjaman ke perusahaan batu bara. 

Salah satu bank yang masih memberikan pinjaman ke proyek-proyek energi kotor batu bara itu adalah BNI. Padahal di sisi lain, bank ini begitu aktif menjaring nasabah dari kalangan anak-anak muda. Sementara krisis iklim yang diakibatkan oleh emisi gas rumah kaca batu bara akan mengubur masa depan anak-anak muda.

Kita, utamanya kalangan anak-anak muda, harus mulai bersuara mendesak sektor perbankan untuk tidak tinggal diam. Sektor perbankan harus mengambil sikap, menghentikan pendanaan ke proyek-proyek energi kotor batubara. Jika sektor perbankan ini terus diam, pura-pura tidak mengetahui bahwa krisis iklim datang lebih cepat, kita benar-benar akan menjadi saksi, mungkin juga korban, dari tenggelamnya Jakarta, Ibukota negara kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun