Investor nampaknya akan kembali mendapatkan posisi istimewa dibandingkan rakyat jelata di era pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) jilid kedua ini. Paradigma pembangunan nampaknya belum beranjak dari rejim korup Orde Baru, pertumbuhan ekonomi memerlukan peran para investor. Dengan pertumbuhan ekonomi itu kue ekonomi akan membesar dan kemudian menetes ke bawah. Paradigma pembangunan itu masih saja dijadikan pegangan meskipun terbukti gagal.
Lahirnya Omnibus Law adalah salah satu instrumen hukum yang direncanakan untuk melayani para investor kakap agar datang ke Indonesia. Bahkan kabarnya, diangkatnya kembali Yasonna Hamonangan Laoly sebagai Menteri Hukum dan HAM pada kabinet periode ke-2 pemerintahannya tak lepas dari kepentingan untuk mengawal proses pembentukan omnibus law. Padahal beberapa waktu lalu sosoknya mendapat sorotan tajam karena meloloskan beberapa RUU yang dinilai merugikan kepentingan publik.
Omnibus Law adalah satu undang-undang yang sekaligus merevisi beberapa, bahkan puluhan undang-undang yang menghambat penciptaan lapangan kerja. Sekilas tidak ada persoalan dengan omnibus law. Toh kehadirannya untuk merevisi UU yang menghambat penciptaan lapangan kerja.
Namun bila kita telisik lebih lanjut, investasi besar yang merusak lingkungan hidup dan mengabaikan aturan tata ruang pun bisa masuk dalam kategori invetasi yang menciptakan lapangan kerja. Hal itu dapat dilihat dari wacana para pendukung perkebunan skala besar dalam menanggapi kritik para penggiat lingkungan hidup terkait kerusakan hutan. Sebagian para pendukung perkebunan skala besar itu selalu berdalih bahwa perkebunan itu membuka jutaan lapangan kerja, sehingga tidak mengapa bila merusak hutan alam di Kalimatan, Sumatera dan Papua.
Aturan terkait perlindungan lingkungan hidup bukan tidak mungkin akan menjadi korban pertama dan utama dari proyek omnibus law ini. Kita tentu masih ingat dengan pidato Jokowi beberapa waktu yang lalu. Ia meminta Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan menutup mata bila memberikan ijin penggunaan lahan bagi investasi.
Padahal praktiknya di lapangan, begitu mudah ijin dikeluarkan untuk kepentingan investor, meskipun merusak alam dan menuai protes dari masyarakat sekitar. Data yang dikeluarkan Kementerian Kehutanan, angka deforestasi di Kalimantan pada tahun 2000 sampai dengan 2005 mencapai sekitar 1,23 juta hektare. Artinya sekitar 673 hektare hutan di Kalimantan mengalami deforestasi setiap harinya pada periode tersebut. Jika kita datang ke Pulau Kalimantan, kita akan melihat bahwa paru-paru dunia itu telah dikepung oleh perkebunan sawit dan tambang.
Seperti halnya di Kalimantan, kehancuran hutan di Sumatera juga sangat massif. Di Provinsi Jambi, luas hutan di wilayah yang semula mencapai 2,2 juta hektar kini hanya tersisa sekitar 500.000 hektar. Di Provinsi Lampung, sekitar 65 persen atau 650.000 hektar dari 1,004 juta hektar hutan dalam kondisi rusak. Kerusakan hutan di Provinsi Aceh juga meningkat. Di provinsi itu, sejak 2006 kerusakan hutan rata-rata 32.200 hektar per tahun.
Menurut data Greenpeace, sebuah organisasi lingkungan hidup internasional, kehancuran hutan Indoneisa kira-kira seluas 300 lapangan bola setiap jam. Sebuah skala penghancuran alam yang sangat masif.
Jadi sudah sejak lama pemerintah tutup mata dalam memberikan ijin terhadap investor. Tutupnya mata pemerintah saat memberikan ijin di sektor kehutanan melahirkan meningkatnya konflik agraria dan bencana ekologis. Data Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) juga mencatat, ada 302 konflik agraria terjadi sepanjang 2017. Data ini bersumber dari 13 provinsi, yaitu Aceh, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Bengkulu, Lampung, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, dan Papua.
Sementara sebuah penelitian Rights and Resources Initiative yang berjudul "Global Capital, Local Concessions: A Data Driven Examination of Land Tenure Risk and Industrial Concessions in Emerging Market Economies" mengungkapkan bahwa sedikitnya 56.102 ha lahan adat di Kalimantan mengalami tumpang-tindih dengan konsesi perkebunan kelapa sawit.
Bukan hanya konflik agraria, tertutupnya mata pemerintah saat memberikan ijin bagi investor juga melahirkan bencana ekologi. Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), terdapat 2.175 kejadian bencana di Indonesia. Dari data itu, 99,08% merupakan bencana ekologis. Â