Akhirnya narasi perang suci yang dibangun dalam kampanye pilpres 2019 mulai menampakan hasilnya. Di berbagai daerah ketegangan sosial mulai muncul.
Adalah gerombolan yang mengatasnamakan tagar 2019 Ganti Presiden yang dalam orasinya kerap membangun narasi perang suci.
Mereka menganalogikan upaya mengganti presiden di 2019 seperti perang suci di era Nabi Muhammad. Padahal, perhelatan pilpres 2019 jelas berbeda dengan sebuah perang yang hanya menyisakan dua pilihan, dibunuh atau membunuh.
Pilpres adalah sebuah kegiatan biasa dalam demokrasi. Bahkan di pilpres, warga punya pilihan untuk tidak memilih. Jadi sangat jauh dari karakter perang yang pilihannya adalah dibunuh atau membunuh.
Narasi perang suci dalam pilpres itu pun berhasil memanaskan suhu politik di berbagai tempat. Gerombolan yang mengatasnamakan tagar 2019 Ganti Presiden pun mendapat penolakan masyarakat di berbagai tempat. Ketegangan sosial pun sulit dihindarkan.
Alih-alih melakukan instropeksi atas narasi perang suci yang selama ini mereka bangun, gerombolan itu justru menggoreng ketegangan sosial yang terjadi dengan isu netralitas aparat keamanan.
Mereka berteriak-teriak sebagai korban persekusi dan tidak mendapatkan perlindungan dari aparat keamanan. Nampaknya, gorengan mereka akan terus mamanaskan suhu politik dan memperkeras ketegangan sosial di akar rumput hingga 2019.
Pertanyaannya kemudian, ketika masyarakat di akar rumput saling cakar, siapa yang diuntungkan? Masyarakat akar rumput jelas tidak diuntungkan dengan ketegangan sosial yang diciptakan elite politik itu. Kenapa demikian? Jawabnya gampang elite politik yang akan berebut kuasa di 2019 memang sejak awal tidak memasukan kepentingan masyarakat akar rumput.
Masyarakat akar rumput, menurut mereka, hanyalah angka untuk mengantarkan mereka ke kursi singgasana. Agenda mereka hanya satu, berebut kuasa atas sumberdaya ekonomi dan politik di negeri ini. Â
Tidak percaya? Lihat saja, saat mereka berdiskusi menentukan calon presiden dan wakilnya, apakah kepentingan kita menjadi bahan pertimbangan? Jawabnya jelas tidak.
Kalkulasi kemenangan dalam pilpres yang menjadi pertimbangan mereka. Bahkan di pilpres ini ada elite yang menjadi bagian dari negosiasi politik elite itu, mengatakan bahwa yang menjadi bahan negosiasi adalah soal kardus, alias uang.