Janji adalah hutang. Begitu bunyi sebuah ungkapan. Artinya, janji itu harus ditepati. Tapi bagi seorang politisi, selalu ada cara untuk tidak memenuhi janji itu. Terlebih sang politisi lihai dalam tata bahasa.
Adalah Anies Baswedan, sang Gubernur DKI Jakarta, yang kini digadang-gadang banyak pihak maju menjadi calon wakil bahkan calon presiden, oleh beberapa pihak. Pada saat jelang pilkada DKI silam, politisi muda ini pernah mengucapkan janji manisnya untuk mengatasi kemacetan lalu lintas di Jakarta. Janji manisnya itu tentu bertolak belakang dengan kebijakan transportasi Gubernur DKI Jakarta saat itu, Ahok.
"Mempercepat pembangunan tol lingkar luar dan tidak membangun 6 ruas tol dalam kota yg akan menambah macet di Jakarta," cuit Anies lewat akun Twitter-nya seperti dilihat detikcom. Sementara, Ahok meskipun pada kampanye pilgub 2012 menolaknya, namun nyatanya saat berkuasa justru bersikeras melanjutkan ide pembangunan 6 tol dalam kota itu.
Janji manis Anies saat itu tentu melegakan publik. Utamanya mereka yang selama ini sesak nafas karena polusi udara di Jakarta. Bagaimana tidak, pembangunan 6 jalan tol dalam kota Jakarta jelas akan semakin menambah sesak jalan raya dengan mobil-mobil pribadi milik segelintir orang kaya di Ibukota. Akibatnya, bukan hanya kemacetan lalu lintas yang semakin parah, tapi juga polusi udara.
Lihat saja, Studi kelayakan pembangunan jalan tol dalam kota Jakarta (PT. Pembangunan Jaya, Mei 2005) justru menyatakan bahwa setiap pertambahan jalan sepanjang 1 km di Jakarta akan selalu dibarengi dengan pertambahan kendaraan sebanyak 1923 mobil pribadi.Â
Sementara, panjang jalan tol yang akan dibangun sepanjang 69.77 kilometer. Tinggal mengalikan berapa ribu mobil pribadi lagi yang akan memadati jalan raya ibukota. Berapa pula beban polusi udara yang akan dihirup oleh warga Jakarta. Berapa pula biaya kesehatan yang akan ditanggung warga Jakarta akibat polusi udara yang meningkat seiring penambahan jumlah mobil pribadi yang melintas di jalan raya Ibukota tersebut.
Tak heran kemudian harapan dibebankan di pundak Anies, untuk merubah arah kebijakan pembangunan infrastruktur transportasi di Jakarta secara lebih mendasar. Janji Anies untuk tidak membangun 6 tol dalam kota adalah angin segar bagi perubahan ibukota menjadi lebih baik.
Waktu terus berjalan. Anies pun kemudian terpilih menjadi Gubernur DKI Jakarta menggantikan Ahok. Gaung penolakan terhadap 6 tol dalam kota pun kian lirih, bahkan nyaris tak terdengar. Hingga muncul berita di Harian Jakarta Post (10 Juli 2018) yang berjudul "Tender for six inner-Jakarta toll roads begins". Â Apa ini artinya? Artinya, pembangunan 6 tol dalam kota dilanjutkan.
Awan gelap bagi kebijakan transportasi dan lingkungan hidup kembali muncul di atas Ibukota. Ahok yang dulu menolak 6 tol, saat berkuasa justru melanjutkannya. Anies yang sebelumnya juga menolak, kini seperti diam seribu bahasa saat tender pembangunan 6 tol dimulai. Penolakan terhadap 6 tol dalam kota untuk mewujudkan kebijakan transportasi kota yang ramah lingkungan hidup ternyata hanya sekedar dijadikan komoditas dagang untuk mendulang suara dalam pilkada, baik oleh Ahok maupun Anies.Â
Kini Jakarta kembali mundur ke belakang. Kebijakan transportasi kota kembali menggunakan paradigma usang, 'memindahkan mobil bukan orang'. Polusi udara yang menyebabkan meningkatnya biaya kesehatan warga tidak pernah menjadi pijakan dalam pengambilan kebijakan. Jadi apa bedanya kebijakan transportasi di Jakarta di era Sutiyoso hingga Anies? Sama saja. Sama-sama berpihak pada pengguna kendaraan bermotor pribadi yang jelas-jelas menyumbang polusi udara di Jakarta. Merasa tertipu janji manis Anies?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H