Tak terasa kita kembali memasuki bulan Mei. Bulan yang paling susah untuk saya lupakan. Setidaknya ada dua peristiwa penting terjadi di bulan itu. Pertama, kejatuhan Soeharto. Kedua, terjadinya semburan lumpur Lapindo di Sidoarjo.
Kedua kejadian di bulan Mei itu adalah tapak perjuangan rakyat dalam melawan tirani politik dan ekonomi. Kali ini saya akan berbagi pengalaman terkait kenangan di bulan Mei 20 tahun yang lalu.
Pada 20 tahun lalu, saya masih belajar di sebuah perguruan tinggi di Surabaya. Saat itu 20 tahun yang lalu, binih-binih perlawanan mahasiswa mulai menguat di kampus-kampus di Surabaya. Di pintu-pintu kampus, kantin mahasiswa dan majalah dinding mulai tertempel selebaran-selebaran yang berisi kritik terhadap pemerintah Orde Baru. Rejim yang telah berkuasa selama 3 dekade.
Puisi Widji Thukul ditempel di sudut-sudut kampus. Fotocopy ceramah Sri Bintang Pamungkas disebarkan secara diam-diam di kalangan mahasiswa. Begitu pula fotocopy dari majalah Tempo Interaktif. Sebelumnya Majalah TEMPO sempat dibredel oleh rejim Orde Baru.
Kantin mahasiswa yang semula tempat kumpul mahasiswa untuk bersantai, tiba-tiba berubah menjadi tempat rapat aktivis mahasiswa. Bahkan di Kantin ITS Surabaya dulu sempat muncul kelompok yang menamakan dirinya PKI (Penghuni Kantin ITS). Menuju bulan Mei, kantin mahasiswa tidak hanya berubah menjadi tempat rapat aktivis, namun juga tempat menggelar mimbar bebas.Â
Di awal-awal bulan Mei, 20 tahun yang lalu, ruang Senat Mahasiswa seperti tempat kos-kos an mahasiswa. Banyak mahasiswa yang memilih tidur di Ruang Senat Mahasiswa daripada pulang ke kos-kosan. Selain hampir setiap malam digelar rapat perencanaan demonstrasi juga karena sebagian mahasiswa sudah tidak mampu lagi membayar kos-kosan. Saat itu, Indonesia terkena krisis moneter. Uang kos-kosan hingga makan di warung harganya naik.Â
Malam-malam pun dilewatkan di ruang Senat Mahasiswa untuk rapat, diskusi dan membuat poster untuk demonstrasi esok harinya. Pagi harinya di bulan April hingga awal Mei, 20 tahun lalu, sebagian aktivis mahasiswa mulai memilih untuk bolos kuliah. Para mahasiswa lebih memilih keliling kampus untuk mengajak teman-temannya mengikuti aksi anti-Orde Baru.Â
Berbeda dengan sekarang, saat itu, bila demonstrasi kita harus merencanakan pula teknik melarikan diri bila ditangkap aparat (polisi ataupun tentara). Sehingga saat itu demonstrasi merupakan kegiatan yang beresiko. Sehingga tidak banyak mahasiswa yang tertarik dengan kegiatan itu. Namun, semua berubah sejak terjadi pembunuhan mahasiswa yang berdemonstrasi di Kampus Trisakti Jakarta.
Sejak dibunuhnya mahasiswa Triskti itulah, mahasiswa mulai berani. Mereka lebih memilih bolos kuliah dan mengikuti demonstrasi. Bahkan bukan hanya mahasiswa. Para dosen yang semula begitu konservatif membela rejim korup Orde Baru, mulai berorasi di acara mimbar bebas yang digelar mahasiswa. Salah seorang Pembantu Rektor III (Bidang Kemahasiswaan) kampus, tempat saya kuliah, pun berorasi. "Mahasiswa naik, Soeharto turun," ucapnya yang masih saya ingat hingga kini. Padahal beliau adalah mantan perwira TNI AL.
Setelah mahasiswa Triskati terbunuh, mahasiswa dari Fakultas Kedokteran (FK) di kampus saya, pun tiba-tiba ikut turun ke jalan, berdemonstrasi melawan Seoharto. Padahal sebelum kejadian terbunuhnya mahasiswa Trisakti, mahasiswa FK paling sulit bila diajak untuk berdemonstrasi.
Hingga pada tanggal 21 Mei, Soeharto tiba-tiba berhenti menjadi Presiden Indonesia. Keputusan Soeharto begitu cepat, diluar dugaan mahasiswa. Sebagian elemen gerakan menilai bahwa itu keberhasilan gerakan mahasiswa. Sebagian lainnya menilai sebaliknya. Kini, setelah 20 tahun berlalu, ternyata keputusan Soeharto untuk berhenti secara mendadak dari kursi kepresidenan justru merupakan kemenangan Orde Baru.