"Kita sudah lama memunggungi lautan..." kata Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam sebuah pidatonya. Pidato yang menjadi pijakan visi kelautan Presiden Jokowi. Presiden Jokowi benar, bahwa kita sudah lama memunggungi lautan. Kita menanggap lautan adalah pemisah kepulauan di Indonesia, bukan penghubung. Akibatnya, muncullah proyek-proyek pembangunan jembatan yang ingin menghubungkan antar kepulauan tersebut pada rejim sebelumnya. Hal ini sangat wajar, karena paradigma pembangunannya adalah paradigma daratan bukan lautan.
Orang berharap bahwa Presiden Jokowi benar-benar presiden yang ingin mengimplementasikan visi kelautan. Harapan itu bertambah besar dengan kehadiran Bu Susi sebagai Menteri Kelautan. Sudah banyak kapal pencuri ikan yang ditenggelamkan saat Bu Susi menjadi Menteri Kelautan. Di laut kita harus berdaulat, mungki itu pesan dari tindakan keras Bu Susi dalam menenggelamkan kapal-kapal pencuri ikan. Bu Susi benar-benar memiliki visi kelautan dalam hal ini.Â
Harapan bahwa pemerintahan Jokowi bervisi kelautan bertambah besar saat Menko Maritim Rizal Ramli, bersama menteri terkait lainnya, berani menghentikan reklamasi salah satu pulau palsu di Teluk Jakarta. Padahal sebelumunya, meskipun kalah di pengadilan, Gubernur Jakarta bersikeras melanjutkan reklamasi.Â
Reklamasi adalah salah satu proyek pembangunan di pesisir yang didasarkan pada paradigma daratan. Laut diurug untuk kemudian dibangun pemukiman mewah dan kawasan komersial bagi kalangan kelas menengah atas. Nelayan silahkan minggir. Dan proyek yang berlandaskan paradigma daratan ini tidak hanya terjadi di pesisir Jakarta. Hampir semua kota di wilayah peisisir kecanduan reklamasi.
Keberanian Menteri Rizal Ramli menghentikan reklamasi salah satu pulau palsu di Teluk Jakarta bisa jadi akan menjadi bola salju bagi penghentian proyek reklamasi di kota-kota pesisir lainnya. Menghentikan sebuah proyek reklamasi perlu keberanian karena dibalik proyek itu adalah pengusaha-pengusaha besar. Bahkan seorang kepala daerah yang oleh kelas menengah dipuja-puja sebagai pemimpin pemberani dan anti-korupsi pun masih takut digugat korporasi bila menghentikan reklamasi. Bahkan Menteri Kelautan Bu Susi yang selama ini dikenal pemberani pun belum berani menghentikan reklamasi di Teluk Benoa.
Namun sayang. Rizal Ramli dicopot dari jabatannya sebagai Menteri Koordinator (Menko) Maritim. Posisi Menko Maritim digantikan oleh Luhut Binsar Panjaitan. Siapa Luhut Binsar Panjaitan?
Saya coba kutip di wikipedia. Luhut Binsar Panjaitan adalah lulusan terbaik dari Akademi Militer Nasional angkatan tahun 1970. Pada Tahun 1967, Luhut masuk Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (AKABRI) bagian Darat dan 3 tahun kemudian meraih predikat sebagai Lulusan Terbaik pada tahun 1970, sehingga mendapatkan penghargaan Adhi Makayasa. Karier militernya banyak dihabiskan di Kopassus TNI AD. Di kalangan militer dikenal sebagai Komandan pertama Detasemen 81. Berbagai medan tempur dan jabatan penting telah disandangnya; Komandan Grup 3 Kopassus,Â
Komandan Pusat Kesenjataan Infanteri (Pussenif), hingga Komandan Pendidikan dan Latihan (Kodiklat) TNI Angkatan Darat. Ketika menjadi perwira menengah, pengalamannya berlatih di unit-unit pasukan khusus terbaik dunia memberinya bekal untuk mendirikan sekaligus menjadi komandan pertama Detasemen 81 (sekarang Sat-81/Gultor) kesatuan baret merah Kopassus, menjadi salah satu pasukan khusus penanggulangan terorisme terbaik di dunia.
Singkat kata, Luhut Binsar Panjaitan, dibesarkan di TNI Angkatan Darat, bukan TNI Angkatan Laut. Bagaimana bila seorang Jenderal Angkatan Darat memimpin Menko Maritim? Apakah visi kalautan akan berubah menjadi visi daratan di kementerian tersebut? Entahlah...
Namun, dalam lubuk hati penulis yang paling dalam, sangat kuatir visi kelautan dalam pembangunan kembali meredup digantikan visi daratan. Dan bila itu yang terjadi maka kita akan melihat laut-laut diurug untuk pemukiman mewah dan kawasan komersial baru bagi segelintir orang kaya. Sementara nelayan disingkirkan. Reklamasi menjadi panglima dalam pembangunan kota di kawasan pesisir. Dan kemudian proyek pembangunan jembatan antar pulau pun dilanjutkan. Ketika itu terjadi, maka tanpa sadar kita telah kembali memunggungi lautan. Poros maritim hanya sekedar jargon. Semoga kekuatiran ini tidak pernah terbukti.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H