Mohon tunggu...
Firdaus Cahyadi
Firdaus Cahyadi Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis, Konsultan Knowledge Management, Analisis Wacana, Menulis Cerita Perubahan dan Strategi Komunikasi. Kontak : firdaus(dot)cahyadi(at)gmail.com

Firdaus Cahyadi, penikmat kopi dan buku. Seorang penulis opini di media massa, konsultan Knowledge Management, Analisis Wacana di Media, Menulis Cerita Perubahan dan Strategi Komunikasi. Untuk layanan pelatihan dan konsultasi silahkan kontak : firdaus(dot)cahyadi(at)gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Money

TPP, Kotoran yang Dilemparkan ke Muka Bung Karno dan Bung Hatta

28 Oktober 2015   15:30 Diperbarui: 28 Oktober 2015   15:30 249
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Headline KOMPAS pagi ini (28 Oktober 2015) memberitakan tentang pertemuan Presiden Jokowi dan Obama. Di sub judul berita tersebut tertulis "Indonesia ingin bergabung dalam Kemitraan Trans-Pasifik"

Apa sih Kemitraan Trans-Pasifik? Dalam bahasa asing Kemitraan Trans-Pasifik sering disebut sebagai Trans Pasific Partnership (TPP). Lantas apa pula itu TPP? TPP adalah rencana perjanjian dagang yang dirundingkan oleh Australia, Brunei, Chili, Kanada, Jepang, Malaysia, Meksiko, Selandia Baru, Peru, Singapura, Amerika Serikat, dan Vietnam pada Agustus 2013.

Terus apa dampaknya bagi Indonesia bila bergabung di TPP? Dampaknya jelas liberalisasi ekonomi secara ugal-ugalan. Bagaimana tidak, bila Indonesia bergabung dengan TPP maka harus melaksanakan beberapa syarat-syarat untuk meliberalisasi ekonomi Indonesia secara ugal-ugalan. TPP mewajibkan anggotanya untuk menghapus segala fasilitas untuk Badan Usaha  Milik Negara (BUMN). Artinya, tak ada penyertaan modal pemerintah, tak ada monopoli seperti pada listrik bagi PLN, dan beras bagi Bulog. Selain itu, TPP juga mengharuskan anggotanya untuk membuka proyek yang dibiayai oleh anggaran pemerintah untuk investor asing.

Apa artinya? Artinya Pasal 33 UUD 1945 akan dirobek-robek dan dibuang di tong sampah. Kok bisa? Lha iya. Dengan TPP, bumi, air dan kekayaan alam yang ada di dalam tanah Indonesia akan jatuh ke tangan korporasi untuk sebesar-besarnya kemakmuran pemilik modal. Cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak juga akan jatuh ke tangan korporasi untuk akumulasi laba para pemilik modalnya. Perekonomian yang berlandaskan kekeluargaan akan disingkirkan dan diganti dengan perekonomian kapitalisme pasar bebas.

Jika Indonesia gabung dengan TPP, rasanya seperti melempar kotoran ke muka para pendiri Republik Indonesia, Bung Karno dan Bung Hatta. Apalagi keiinginan bergabungnya Indonesia ke TPP diungkapkan di depan Presiden Amerika Serikat, sebuah negara yang mengusung ideologi kapitalisme. Ya, kapitalisme, ideologi yang menjadi musuh bebuyutan Bung Karno dan Bung Hatta. Pemikiran Bung Karno tentang kemandirian ekonomi dan juga pemikiran Bung Hatta tentang demokrasi ekonomi akan dilindas habis oleh TPP ini. Apalagi pemikirannya Tan Malaka tentang kemerdekaan 100%, akan dicincang  dan dilumat oleh TPP ini.

Saya adalah generasi yang tidak hidup di era Bung Karno dan Bung Hatta. Namun, saya membaca sebagian tulisan-tulisan mereka. Saya hormat kepada mereka karena telah berjuang mati-matian melawan kolonialisme.Mereka semua adalah musuh dari kapitalisme. Namun, kini justru Indonesia merunduk-runduk ke Amerika Serikat dan menyatakan ingin bergabung dengan TPP. Sedih, marah dan kecewa. Ketiga perasaan itu berbaur menjadi satu ketika membaca Presiden Jokowi, yang dulu saya pilih pada pilpres 2014, justru seperti menyerahkan kedaulatan ekonominya ke tangan korporasi multinasional melalui TPP.

Saat ini mungkin Indonesia masih sebatas ingin bergabung dengan TPP. Tapi nanti bila sudah benar-benar bergabung, kita akan sadar bahwa kita telah kehilangan status sebagai warga negara dan diganti dengan status sebagai konsumen. Karena dengan TPP, praktis peran negara diminimalkan kecuali untuk kepentingan korporasi. Dan di saat seperti itulah hak warga negara direduksi menjadi sekedar hak konsumen. Sedih rasanya....

 

 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun