Hari masih pagi. Jarum jam baru menunjukan pukul 06.00 wib. Namun, orang-orang sudah mulai berdatangan di Kebun Raya Bogor. Setiap hari Sabtu, minggu atau hari libur, Kebun Raya Bogor menjadi tempat tujuan wisata bagi warga Bogor dan sekitarnya. Mereka yang datang ke Kebun Raya Bogor di hari libur biasaya untuk berolahraga sambil menghirup udara segar. Ada lagi yang hanya melepas penat dengan melihat pemandangan yang indah.
Kebun Raya Bogor adalah bagian dari ruang terbuka hijau (RTH) yang masih lestari di kota Bogor. Wajar jika kemudian warga Bogor dan sekitarnya menjadikan Kebun Raya sebagai tempat pelepas penat di hari liburan. Namun, tidak semua warga Bogor bisa menikmati indahnya RTH di Kebun Raya. Hal itu disebabkan untuk masuk ke area Kebun Raya tidaklah gratis. Kita harus beli tiket masuk. Tiket masuk itu warjar, karena dari tiket masuk itu digunakan untuk perawatan Kebun Raya Bogor. Namun, adanya tiket masuk itu juga menyebabkan tidak semua orang bisa setiap hari libur melepas penat di Kebun Raya Bogor.
Tidak salah bila pengelola Kebun Raya Bogor menarik tiket masuk dari pengunjungnya. Namun, persoalannya adalah Pemerintah Kota Bogor hanya memiliki sedikit RTH sebagai ruang publik. Di Bogor luas RTH hanya 10 persen dari luas wilayah. Padahal menurut UU Tata Ruang, harusnya ada 30 persen RTH di setiap wilayah kota. Jangan-jangan angka 10 persen RTH di Bogor itu hanya disumbangkan dari Kebun Raya Bogor. Jika itu benar artinya, jika tidak ada Kebun Raya Bogor, Kota Bogor memiliki 0 (nol) RTH. Memprihatinkan.
Intensifnya pembangunan kawasan komersial di Bogor, baik itu mall, hotel dan perumahan membuat pemerintah kota tidak mampu menambah jumlah RTH di kota ini. Pemerintah Kota Bogor selalu berdalih tidak punya cukup tanah lagi untuk menambah RTH. Ya, benar karena sebagian besar tanah di Bogor sudah dimiliki oleh pemilik modal di sektor properti. Dapat dikatakan sebenarnya Kota Bogor sedang mengalami krisis ruang publik
Akar persoalan dari krisis ruang publik di Kota Bogor adalah penguasaan tanah yang timpang. Untuk mengatasi krisis ruang publik ini, pemerintah Kota Bogor harus berani melakukan trobosan. Trobosan itu adalah land reform atau reformasi agraria untuk mengoreksi ketimpangan kepemilikan lahan.
Tahap pertama dari land reform itu adalah dengan melakukan moratorium (jeda) pemberian ijin pembangunan kawasan perumahan dan komersial di Kota Bogor.
Tahap selanjutnya, pemerintah Kota Bogor harus membuat regulasi yang intinya membatasi kepemilikan lahan yang luas oleh segelintir orang atau perusahaan.
Selain itu, perusahaan properti yang sekarang ada dan telah menguasai tanah secara luas harus membangun RTH sebagai ruang publik, sehingga target 30 persen RTH di Kota Bogor dapat tercapai. Namun, beranikah Walikota Bogor mengambil kebijakan yang radikal untuk menyelamatkan ruang publik di kotanya?