Mohon tunggu...
Firdausi Nuzula
Firdausi Nuzula Mohon Tunggu... Jurnalis - Anak laut

selembut air

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Artikel Utama

Menyoal Rasa

29 Maret 2015   22:27 Diperbarui: 20 Februari 2016   22:06 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1427642654149427576

[caption id="attachment_357978" align="aligncenter" width="222" caption="ajofery.blogspot.com"][/caption]

 

 

Oleh : daun_pisah

 

Hampir seluruh manusia dijagat raya ini merasakan dahsyatnya energi cinta atau energi keserasaan,tidak bisa dipungkuri kesibukan urusan dunia atau urusan akhirat tidak akan mampu mengalihkan perhatian hati, pasti menyelip sejenak rasa empati,rasa ketertarikan dan rasa mencintai. Oleh karena itu ketertarikan,keserasaan dan keserasian itu yang lebih menentukan pilihan pendamping hidup. Seperti yang dijelaskan Ibnu Hazem (imam besar madzhab zhahiryah) " kalau ada lelaki tampan menikahi perempuan jelek,atau sebaliknya,itu bukan sebuah keajaiban. Yang ajaib adalah seorang lelaki meninggalkan kekasih yang cantik dan memilih kekasih baru yang jelek. Orang seperti ini mengutamakan hukum keserasaan.


Soal rasa adalah pesona jiwa,fisik, akal, bagi anak muda bahkan hampir setiap kalangan butuh pilihan serasa dan serasi,dan tidak heran kita kadang gugur dalam pertempuran ini (cinta), apalagi kalau sudah mulai terpasung oleh benih " rasa kecocokan atau rasa tidak mau kehilangan". Disini, kadang kita tak sanggup memadukan fungsi hati dan akal. Kata buya hamka dalam novelnya dibawah lindungan ka'bah " semakin tinggi harapan semakin sakit jatuhnya". Disaat "rasa tidak mau kehilangan", kita pelihara saat itu pula Allah akan mulai menguji dengan rasa kehilangan pula.


Maka dalam hal perasaan (asmara),jangan sekali-kali membangun "rasa berlebihan",supaya potensi iman kita berfungsi,karena ini pekerjaan jiwa dan jiwa pula yang akan menyelsaikannya. Ingat dengan perkataan Ali bin Abi Thalib " Cintailah orang yang engkau cintai sewajarnya saja, karena bisa jadi orang yang engkau cintai itu akan menjadi orang yang engkau benci suatu saat nanti. Bencilah orang yang engkau benci sewajarnya saja, karena bisa jadi orang yang engkau benci akan menjadi orang yang engkau cintai suatu saat nanti.”


Hal demikian pernah dialami oleh nabi saat kehilangan istrinya khadijah,benturan hati dan "rasa tak mau kehilangan", hampir menyusup dalam kehidupan nabi,saat itu pula dinamakan tahun duka cita. Begitu pula apa yang terjadi pada umar,ketika dikabarkan kepada beliau bahwa nabi telah tiada,hentak umar "siapa yang mengatakan bahwa nabi telah meninggal maka akan aku gorok lehernya". disini ada hukum "tak mau kehilangan tapi kemudian nabi dan shabat mengembalikan pada persidangan iman. Artinya mencintai berlebihan dan rasa tak mau kehilangan secara akal sehat kadang singgah dalam perjalanan hidup ini. Apalagi kita hanya sesosok manusia biasa,iman biasa, maka sangat wajar ketika kemudian benturan rasa tak mau kehilangan itu kita alami dalam jejak petualangan hidup.


Maka jadilah lelaki yang baik atau perempuan yang baik, yang  enggan terluka oleh hukum "tak mau kehilangan".

Jakarta fn maret 2015

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun