Mohon tunggu...
Firdausi Nuzula
Firdausi Nuzula Mohon Tunggu... Jurnalis - Anak laut

selembut air

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Ibu, Mataku Basah

6 April 2015   08:45 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:29 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Siapa yang tidak mengenal perjuangan sesosok Ibu,dia adalah pencetak generasi,pahlawan sepanjang jaman,lihat saja perjuangannya,dari sembilan bulan mengandung,kemudian menahan rasa sakit dengan sabar dalam perutnya. Perjuangan melahirkan layaknya seperti menaru' telur diatas kepala gajah,goyang sedik telurnya bisa pecah,tak ada keluh dalam wajah ibu,bahkan keikhlasan selalu iya pangkul bersama buah hatinya. Dan kita sebagai anak harus berbakti dan belajar memangkul beban yang berat seperti semangat ibu.

Nama ibu disebutkan tiga kali dalam hadis nabi kemudian ayah, artinya kebaktian kita harus sama rata kepada ibu dan ayah,tapi kemudian ini masalah nilai angka dan nilai kebaktian. Birrul Walidain (berbakti kepada kedua orang tua) adalah kewajiban kita sebagai anak, selain terhadap perkara yang haram.

Ibu mataku basah. belajar dari perjuangan hidup, sesosok ibu yang tua rentang tinggal bersama suaminya di kepulawan kecil di ujung timur madura,pekerjaan suaminya hanya penelayaan tradisional,yang berangkat melaut ba'da shubuh pulang ba'da ashar,seperti itulah kegiatan tiap harinya,bahkan hampir 50 tahun dia bergelut bersama ombak,tak ada keluh,tak ada lelah,yang ada kekayaan syukur.

Tapi Ibu baik sekali,cintanya pada suami tak berlebel materi,setianya pada suami tak berawal pada nominal,kebahagiaannya tak berakhir oleh finansial,yang terpenting keluarga dan anak-anaknya cerdas mengingat Allah, baginya, disitu pusat ketenangan dan kebahagiaan.
Ibu mataku basah!!

Reranting keluarga sakinah adalah serpihan surga yang dibangun didunia,begitulah si bapak mendidik keluarganya,walau dia hanya sebatas lulusan sd tapi pengetahuan speritualnya lebih tebal daripada lulusan S1,S2. Si ibupun seperti itu dia tak mau anak-anaknya mengikuti jejak mereka (lulusan SD),demi masa depan anaknya,pekerjaan seberat apapun mereka rela mengerjakannya. Sampai dia mampu menyekolahkan anak-anaknya selevel sarjana.

Mengais rizki sebagai penelayaan tidak seenteng pemulung mengais barang-barang bekas ditumpukan sampah, penelayan harus melawati ombak besar,melawan dinginnya udara pagi yang menyengat sampai kepori-pori, menaklukkan panas dari pantulan air disiang hari.

Seperti apapun profesi mereka tetap saja perjuangannya tak ada kata keluh,demi kabahagiaan anak-anaknya, semua diperjuangkan.

Maka sudah sepantasnya kita berbakti sepenuh hati kepada mereka. "Terlalu banyak yang diberikan ibu/bapak dan terlalu sedikit kesempatan untuk membalasnya"

Mari belajar keikhlasan pada ibu,bapak, semoga kita menjadi anak yang berbakti.

Jakarta, fn April 2015

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun