Mohon tunggu...
Pidato Semprul 17an Janu
Pidato Semprul 17an Janu Mohon Tunggu... pegawai negeri -

memunguti remah-remah pengembaraan...

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Jogja, yang paginya sudah puisi ...

2 Juni 2011   23:35 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:56 823
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

. Ujung malam masih menyisakan wangi sepinya, ketika aku tiba di perempatan Tugu. Jalanan masih sunyi, hanya satu dua sepeda motor bebek yang melintas cepat. Meninggalkan jejak bau asap yang menghapus aroma pagi dan pendar lampu yang menggaris memotong perempatan. Sesekali becak dengan atap terbuka berlalu pelan di depanku, dengan muatan ataupun kosongan. Tak terburu-buru pedal becak digenjot, menghirup paparan udara pagi dan menukarnya dengan hembusan nafas yang segera saja mengembun dingin. Bintik api sedetik membesar saat membakar lintingan tembakau dan menyusupkan sedikit kehangatan ke dalam penciuman. Meninggalkan jejak asap beraroma manis, meski belum gosok gigi.... Malioboro, yang malam-malamnya penuh dan ramai genjrengan gitar akustik, pagi ini masih menggeliat malas bangun. Padahal tukang sapu sudah hampir menyelesaikan separuh pekerjaannya mengangkuti sampah sisa semalam. Namun para tukang becak masih enggan keluar dari kehangatan sarung lusuhnya, meringkel di jok becak yang menjadi rumah sekaligus mata pencahariannya. Beberapa sudah ngumpul di sekitar gerobak penjual kopi susu, asik meniup-niup kopi hitamnya yang masih panas mengepul, yang dituang ke dalam piring kecil untuk mempercepat pendinginan. Toko-toko masih tak bernyawa, pintunya masih tertutup rapat lengkap dengan gembok dan rantainya. Lapak di sepanjang koridor Malioboro masih terlelap, ditutupi plastik warna-warni. Hari libur atau tidak, bagi simbok sama saja. Hidup berjalan terus, dan perut harus diberi makan supaya bisa terus panjang umur. Sepagi ini, simbok sudah berjalan perlahan menyusuri koridor. Menenteng keranjang anyaman, menggendong dagangannya. Sehabis sholat Subuh simbok musti sudah berangkat dari rumah, berjalan kaki, setiap hari, sudah berpuluh tahun seperti ini. Sudah biasaa..... Pengabdian selama hayat di kandung badan,setia hingga akhir waktu. Tak mengapa hidup bersahaja, materi bukanlah segalanya. Tembok dan menara-menara istana boleh mengelupas cat kapurnya, tapi pengabdian dan rasa cinta menjunjung Raja tetap tertanam di jiwa. Di bawah pengayoman Raja kami bekerja, di balik tembok perlindungan Raja kami membesarkan anak cucu dan keturunan kami hingga kini. Hingga akhir nanti. Dunia dan seisinya boleh berubah, Kota-kota beralih tempat dan berubah nama. Tapi di sinilah rumah kami yang sesungguhnya..... :) . . . Foto-foto milik pribadi. .

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun