Mohon tunggu...
Pidato Semprul 17an Janu
Pidato Semprul 17an Janu Mohon Tunggu... pegawai negeri -

memunguti remah-remah pengembaraan...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Fiksi Misteri] Kampungku Kehilangan Kata-Kata

19 November 2011   07:29 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:28 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

. Kampungku kehilangan kata-kata. Sudah beberapa minggu ini kampungku menjadi senyap dan kata-kata seakan menguap. Tak ada sepatah kata pun yang terdengar meski sudah ngotot kami teriakkan dengan pita suara yang bergetar. Bapak kepala desa tak bisa menjelaskan apa-apa kepada warganya, karena pidatonya dalam rapat desa tak juga mengeluarkan suara meski mulutnya sudah berbusa-busa. Beliau juga sama bingungnya, karena hobi pidatonya tidak bisa lagi menebarkan pesona dan wibawa. Para warga cuma bisa melihat dagunya yang terangkat-angkat dan mulutnya menganga-nganga. Namun tak ada hamburan kata-kata yang biasanya mereka dengarkan dengan terpaksa. Seakan-akan ia bicara dalam ruang kedap udara, dan setiap kata yang keluar dari mulutnya langsung seketika dirampas hampa. Ibu-ibu yang biasanya bersuara ramai setiap pagi hari ketika bergerombol di seputaran gerobak tukang sayur, juga tak terdengar lagi tawanya.  Biasanya tawa mereka, tentang sesuatu atau seseorang di kampung ini,  mencapai ujung-ujung kampung. Mata mereka saling melirik, melotot keheranan dan bibir-bibir maju dalam keasikan mencumbu informasi tentang apa saja yang bisa dibikin menjadi sensasi. Tapi sudah beberapa minggu ini mereka nampak lemah lesu dan tanpa gairah. Menghilangnya kata-kata dari kampungku telah melumpuhkan gairah hidup kaum ibu-ibu. Bagi mereka, belanja sayur tanpa beramai kata-kata...ibarat memasak tanpa garam dan bumbu!... Yang paling merasa menderita tentu saja adalah para gadis di kampung kami. TIba-tiba mereka kehilangan sisi kewanitaan mereka akibat tak ada lagi rayuan gombal yang bisa mereka dengar dari para pemuda pemuja mereka. Biasanya surat cinta berisi kata-kata penuh pujian melambung dan kata-kata cinta bertebaran, dalam sehari bisa puluhan surat dipertukarkan. Tetapi kini halaman surat hanyalah kosong belaka. Setiap goresan kata tak mampu melekatkan dirinya ke permukaan kertas.  Hanya putih lembaran tanpa bekas goresan. Malam-malam mereka menjadi sepi yang paling sunyi, karena kerinduan tak lagi bisa diucapkan atau dituliskan. Nyanyian tak bisa dibisikkan karena tak ada bunyi bahkan untuk sekedar kata "Ahh.....". Rasa cinta tak bisa lagi diungkapkan sehingga ia menggelegak mendesak-desak tak tersalurkan. Menderita sekali memendam rasa yang demikian itu! ... Beberapa sepuh  yang cermat menunjuk-nunjuk gerombolan burung sriti sebagai penyebab hilangnya kata-kata dari kampung kami. Burung-burung kecil itu memang baru nampak berterbangan, bersamaan dengan menghilangnya kata-kata dari kampung kami. Sebelumnya kami tak pernah melihatnya. Mereka berterbangan keluar-masuk kampung, melintas di atas atap-atap rumah..masuk ke dalam kelas-kelas sekolah dasar di pinggiran jalan kampung....menyambar-nyambar di atas pasar....menyusup ke dalam rapat-rapat desa....ikut nongkrong di gardu ronda bersama para pemuda yang nyanyi-nyanyi sambil bermain gitar....pokoknya mereka ada di mana-mana. Para sepuh mengatakan, bahwa sriti itulah yang mengambil kata-kata dari kampung ini. Sriti itu menyambar setiap kata yang kami ucapkan, merampas makna dari setiap kata yang ingin kami tuliskan...sehingga tak ada yang tersisa selain kesunyian. Kata para sepuh, sriti itu membawa semua kata-kata dari kampung ini...ke sarangnya. ... Kami semua, ratusan jumlahnya, berduyun-duyun berarak ke balik bukit dengan berjalan dalam sepi. Kata para sepuh, di sana sriti itu bersarang. Mulut kami memaki tapi sama sekali tak bunyi. Sebagian berteriak tapi hanya mulutnya saja yang kelihatan tertarik-tarik bergerak. Jarak semakin dekat...penasaran dan marah semakin kental merekat. Tangan-tangan sudah panjang mengangkat tongkat dan parang berkarat....punggung bukit sudah terlewat. Senja menjelang dan api di suluh siap membakar garang. Gerombolan burung sriti sudah terlihat terbang melingkar-lingkar di udara. Semakin dekat......dan bau busuk apa itu yang menyengat?!........ Langkah warga kampung berhenti kaku. Di hadapan mereka meninggi sebuah tumpukan kata-kata...saling bertumpuk kata di atas kata yang lain...ribuan kata...jutaan! Aku melihat ada kata-kata milikku terhimpit di tengah tumpukan itu. Aku mengenali kata-kata Pak Kepala Desa banyak sekali ditindih kata-kata milik warga yang lain. Kata-kata para pamong desa..kata-kata mantri...kata-kata warga yang petani. Kata-kata para ibu-ibu menggumpal seperti bola-bola besar yang menyumpal pada sisi-sisi tumpukan. Kata-kata para pemuda...kata-kata para gadis dan belia.... Semua kata milik kami ada di sana!... bertumpuk-tumpuk...dan bau!!!?...... "Kata-kata kalian penuh kebencian, kedengkian dan hujatan. Kata-kata kalian adalah dusta dan kebohongan. Kata-kata kalian hanya janji kosong dan bualan tanpa makna. Kata-kata kalian hanya untuk membesarkan diri sendiri dan tak peduli.  Kata-kata kalian adalah cinta palsu dan rayuan penuh tipu. Kata-kata kalian basah menjijikkan. Kata-kata kalian menyesakkan. Kata-kata kalian membakar dan penuh amarah. Kata-kata kalian gersang. Kata-kata kalian tak mau memaafkan. Kata-kata kalian menjatuhkan dan menistakan. Kata-kata kalian merobek dan memisahkan. Kata-kata kalian adalah sampah bau busuk dan kotoran !!....... Kini kami ambil semua kata-kata darimu...maka bicaralah menggunakan hatimu..." .. Ketika kata-kata tak lagi memberikan makna... .

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun