Mohon tunggu...
Pidato Semprul 17an Janu
Pidato Semprul 17an Janu Mohon Tunggu... pegawai negeri -

memunguti remah-remah pengembaraan...

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

"Apakah Engkau Mengira AKU Senang ?! ...."

25 Desember 2009   02:07 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:47 482
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Sembilan ratus tahun telah berlalu dan selama itu pula Kanjeng Nabi Nuh –keselamatan baginya- sudah mencoba menasehati kaumnya. Setiap hari ia dengan sabar mengingatkan mereka untuk melakukan kebaikan dan mengambil kebenaran Tuhan yang ia tawarkan. Tapi apa yang diperolehnya? Hanya penolakan dari kaumnya.Sebanyak yang ia sampaikan, sebanyak itu pula mereka mengabaikan. Hari demi hari mereka memperolok-oloknya dan mencacinya. Sepanjang tahun dan beratus tahun lagi. Seratus dua ratus tahun ia masih masih bersabar. Lima ratus tahun berlalu dan ia masih sabar. Namun setelah sembilan ratus tahun akhirnya ia merasa letih dan habis kesabarannya.

Dalam keletihannya itu kemudian Kanjeng Nabi mengadu kepada Tuhan. Ia memohon agar Tuhan menghukum dan membinasakan kaumnya yang ngeyelan itu. Dan Tuhan mengabulkan doa para utusanNya. Maka terjadilah apa yang diminta: banjir bandang menyapu bergelombang…dan semua kaumnya mati tenggelam !!...

Waktupun berlalu. Banjir yang menggenang perlahan-lahan menyurut menampakkan kembali daratan. Kanjeng Nabi bersama-sama dengan beberapa orang pengikutnya dan ratusan pasangan hewan kini dapat keluar kembali dari bahtera raksasa. Kehidupan berangsur-angsur mulai berjalan normal (tentu saja dengan jumlah manusia yang sangat lebih sedikit sekarang). Dan pada suatu waktu Tuhan memerintahkan kepadanya,

“Wahai hambaKu, buatkanlah untukKu empat puluh bejana tanah liat yang terbaik yang kau bisa ciptakan dengan kedua tanganmu…”

Dalam kepatuhan dan rasa memuja yang paling tinggi, Kanjeng Nabi segera mengumpulkan tanah liat terbaik dari penjuru negeri.untuk membuat bejana yang paling sempurna. Siang malam ia dengan tekun membuatnya satu demi satu dengan kedua tangannya sendiri., Setiap lekukan harus sempurna, Setiap lingkaran harus bundar sempurna. Ia harus memberi yang terbaik bagi Tuhan-nya. Akhirnya…selesailah empat puluh bejana sebagai bukti pengabdiannya kepada Tuhan. Empat puluh bejana paling indah….

Namun apa yang kemudian Tuhan katakan? Setelah begitu banyak waktu,upaya dan hikmat sepenuh hati yang ia berikan demi membuat bejana-bejana yang paling indah yang pernah dibuat oleh manusia itu?

“Wahai hambaKu,….sekarang hancurkan satu demi satu bejana itu …..”

Betapa sedih Kanjeng Nabi melakukannya. Sebagai seorang utusan, tentu ia patuh tanpa bertanya. Ia membanting bejana satu demi satu ke atas batu hingga hancur berkeping-keping. Tetapi sebagai manusia, tentu hatinya merasa sedih bersama dengan hancurnya bejana-bejana terindah yang telah ia buat dengan sepenuh hati. Dan Tuhan tahu itu…..

“Wahai hambaKu,…engkau membuat empat puluh bejana tanah liat terindah yang paling sempurna, dan engkau merasa sedih ketika engkau harus menghancurkannya. Apakah engkau mengira bahwa AKU merasa senang ketika harus membinasakam manusia-manusia makhluq ciptaanKu…meskipun mereka menolakKu dan tak mempercayaiKu ?...”

Terhenyak Kanjeng Nabi Nuh mendengar itu. Dan ia pun teringat tentang apa yang ia minta dahulu. Maka ia menangis sekeras-kerasnya dan meratap penuh kesedihan…..

. Selamat Merayakan Natal 2009. Semoga kedamaian menyelimuti banyak hati yang mencari…. Disarikan dan dibahasakan kembali dari “Love Is The Water of Life” (http://www.naqshbandi.org/suhba/loveisof.htm )

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun