[caption id="attachment_271067" align="alignleft" width="639" caption="Lorong Di Bawah Tanah, Foto Koleksi Pribadi"][/caption]
.
Di manakah di kota besar ini, yang langitnya semakin tertutupi oleh gedung-gedung beton kaku berlapis kaca berkilauan angkuh, engkau bisa menemukan secuil teduh? Di manakah di balik segala kemewahan yang didesak-desakkan oleh ribuan billboard dan arus iklan pada layar elektronik sepanjang jalan, engkau bisa merasakan sejenak kemanusiaanmu yang telanjang?
…
Doel Semprul bersimpuh di atas karpet merah yang terhampar di sebuah ruangan sempit beratap rendah. Beberapa kipas angin kecil dari plastik murahan menempel di dinding. Tetapi putaran bilahnya tak cukup kuat untuk menghalau udara panas yang mengambang. Tak ada mesin pendingin ruangan. Bau lembab tercium dari ruangan yang terkubur sepuluh meter di bawah tanah ini, di lantai parkiran basement tiga yang sebagiannya disulap menjadi tempat Jumatan.
[caption id="attachment_271068" align="alignleft" width="382" caption="Jumatan d Basement Hotel, foto koleksi pribadi"]
“Semprul!”, omel si Doel sambil menyusuri lorong-lorong panjang yang berliku dan menuruni tangga bawah tanah menuju entah kemana yang ditunjukkan oleh petugas hotel berjas keren. “Ikutin lorong sampe ke ujung,Pak. Nanti belok kanan ada tangga turun ke basement”. Sambil ngedumel, si Doel menyusuri lorong yang di kiri kanannya banyak pintu bertuliskan “for employees only”, atau melewati mesin absensi ceklok, atau cermin dengan secarik kertas bertuliskan “sudahkah anda rapi?”, atau ruangan sempit dengan banyak lemari kecil –lockers karyawan-, atau ruangan dengan banyak gantungan seragam satpam. Lha salah sendiri, kenapa nyari Jumatan koq di hotel? Kan harusnya dia bisa keluar bawa mobil mencari masjid di luar sana, meski harus berjuang menembus kemacetan jalan ibukota pas jam istirahat siang dengan risiko terlambat Jumatan?
…
[caption id="attachment_271069" align="alignleft" width="627" caption="Adzan di Basement Hotel Mewah, Foto koleksi pribadi"]
Waktu Jumatan hampir tiba. Sesosok tubuh kecil dan ceking menaiki mimbar. Baju koko-nya putih sederhana yang warnanya sudah lusuh serta kupluk yang juga lusuh. Berwajah tirus dengan daun telinganya yang lebar, dan warna kulit agak gelap. Si Doel mengamati dengan agak heran. Anak muda seringkih itu, anak muda bertubuh kecil dan ceking seperti itu, kini berdiri di atas mimbar kayu. Menyampaikan pengumuman singkat tentang berbagai hal seputar saldo kas musholla, siapa penceramah siang ini dan info undangan-undangan pengajian. Betapa kontras ke-ceking-an anak muda itu dengan kemegahan bangunan hotel yang menjulang lima puluh lantai ini. Betapa bertolak belakang kesederhanaan anak muda itu dengan kebesaran kemewahan yang dibangun gedung ini hingga menggapai-gapai awan!
Tapi yang lebih mengagetkan si Doel, anak muda yang dibalut kesederhanaan itu jugalah yang kemudian mengumandangkan adzan. Lantunan adzan yang sangat lembut. Lantunan adzan yang “cengkok”-nya sangat sederhana, tanpa berbunga-bunga hiasan ayunan nada naik-turun yang berlebihan. Lantunan adzan yang sangat halus, yang menyusup perlahan ke dalam relung hati untuk kemudian merangkulnya dalam rasa kesederhanaan apa adanya. Si Doel terpana. Luruh semua kekesalannya. Baginya, ini adalah suara adzan terindah yang pernah ia dengar selama hidupnya. Bukan seperti Adzan yang ada di tivi-tivi, yang baginya terlalu lantang dan terlalu mengayun-ayun seperti dibuat-buat supaya jadi indah (ah si Doel sok tau!).
Doel terlarut dalam keindahan adzan yang dilahirkan dari dada kurus yang penuh ketulusan. Matanya tak terasa basah memandangi punggung anak muda ceking yang melantunkan keindahan adzan yang bergema ke seluruh sudut ruangan parkiran di bawah tanah ini. “Ah…siapakah anak muda ceking berkulit gelap berbaju putih lusuh itu?” bisik si Doel dalam hati. Yang telah menyentuh titik kesadaran hatinya. Bisa jadi ia hanyalah seorang karyawan cleaning service biasa di mata manusia, yang pekerjaannya setiap hari membersihkan kamar mandi dan ratusan closet di hotel ini. Bisa jadi ia bukanlah siapa-siapa di mata manusia, tak dipandang sebelah mata oleh para tamu hotel yang glamour dan perlente maupun oleh para manajernya (manajer lokal maupun manajer bule) yang berjas dan berdasi. Tapi dengan keindahan adzan-nya yang seperti itu, si Doel merasa yakin kalau suara anak muda ceking hitam itu pasti telah menembusi lapisan langit di atas sana.
Bukankah Tuhan sudah sering mengingatkan, bahwa kemuliaan manusia tidak dilihat dari ukuran-ukuran pangkat ataupun kebendaan yang dimilikinya? Tidak peduli apakah ia wangi bertengger di kamar presidential suites di lantai seratus hotel megah ini, atau ia kusut menyendiri di sudut gelap di parkiran bawah tanah sini. Tidak peduli apakah ia presiden dan menteri atau seorang tukang cuci. Tidak peduli apakah ia berdiri di mimbar megah disorot kamera tivi atau ia berbisik dalam doa yang lirih tersembunyi. Karena Ia hanya melihat isi hati.
Adzan mencapai akhir lantunan. Si Doel semakin menunduk merendahkan kepala. Luruh semua keangkuhannya. Apalah ia dibandingkan dengan kemuliaan si anak muda yang ceking berbaju lusuh itu. Adzan indahnya membawa anak muda itu terbang ke hadirat langit tertinggi. Sementara ia....terjerembab rendah di bumi bersama semua keburukan yang telah diperbuatnya. Luruh semua kebendaan yang melekat pada dirinya. Apalah arti semua pangkat dan barang mewah yang melekat di tubuhnya selama ini? Jika semuanya itu tak akan bisa dipakai untuk menyuap para penjaga langit dan membeli cintaNya? Doel Semprul diam-diam menyeka sudut mata, untuk mencegah air matanya tumpah...
..
Selamat Lebaran 1 Syawal 1434 Hijriah.
Sebuah persembahan untuk para marbod dan muazzin Jumatan di bawah kaki-kaki hotel megah dan gedung-gedung kantoran di ibukota, yang dengan kesederhanaannya telah melantunkan adzan terindah yang membisiki hati dari kedalaman bawah tanah…
.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H