Mohon tunggu...
Pidato Semprul 17an Janu
Pidato Semprul 17an Janu Mohon Tunggu... pegawai negeri -

memunguti remah-remah pengembaraan...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Fiksi Misteri] Menjemputmu, Perempuanku...

5 Februari 2012   01:07 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:03 309
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

. Menantimu seperti diam yang tak berwaktu. Juga tanpa mimpi-mimpi yang mengambil rupa dari kerinduan yang bisu. Hanya suara deburan saat kuhempaskan kepedihan yang menindih pada setiap kali ombak menabrak karang. Berkali-kali beratus hari sejak kepergianmu, sepanjang pagi dan petang. Dan pada setiapnya kulekatkan bayanganmu, yang sekejap kemudian memburam airmata digulung arus kembali kepada kesunyian yang dalam... "Sungguh aku merindumu.....", jeritku meremas luka. ... Pagi ini hujan baru saja usai dan meninggalkan wanginya pada pasir yang basah. Deburan tak ramai. Ujung-ujung ombak santun menyentuhi pantai. Buih-buih kecilnya menari di kaki, untuk kemudian berlari pergi meninggalkan basah yang menggelitiki. Dan aku membayangkanmu, kecupan-kecupan kecil di ujung-ujung kaki serta hembusan hangat nafasmu mendaki jemari...Duh! Mataku memejam saat kerinduan itu kembali menusuk! Tajamnya menghunjam dalam! Rasa sakitnya melembam. Duh! Sampai kapan ini?..... Tiba-tiba bau laut menguat menghapus aroma sisa hujan. Kubuka mataku dan penciumanku mencari-cari dalam udara yang tiba-tiba saja dipenuhi wangi sisik ikan, rumput laut, kepiting dan kulit kerang.  Ujung-ujung ombak nampak tergesa mundur menjauh meninggalkan buih-buih kecilnya yang jatuh terjerembab.  Garis pantai merayap mengejar ke tengah. Meninggalkan kilauan butiran pasir dan cangkang kerang yang selama ini tersembunyi dalam air kelam. Warna pasirnya terlihat lebih gelap. Terhampar hingga berjarak selangkah di depanku...dan menampakkan goresan itu. Goresan yang tersingkap ketika air laut mundur merayap.  Sebuah tulisan!... di atas pasir basah berwarna gelap. Aku tercekat membacanya. Kututup mulutku dengan satu tangan, dan nafasku tersedak menahan apa yang mendesak-desak dari dalam dada. Kini kutahu dimana engkau selama ini, kekasihku. Kini kutahu kemana engkau menghilang selama ini di balik badai saat itu. Kini kutahu, mengapa tak ada khabar apapun darimu. Kini kutahu. Airmataku deras tumpah dan kuusapi huruf demi huruf tulisan itu dengan rasa kerinduan yang dalam.... "Ini aku, perempuanku....menjemputmu" Dan di batas langit lautan mendaki. Air laut bergemuruh membentuk dinding warna pekat yang meninggi. . .. Jakarta, ketika tanah masih basah. Foto dipinjam dari google.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun