.. Perjalanan mudik ini masih menyisakan beberapa kilometer menuju akhirnya. Hari baru beranjak pagi. Angka-angka semakin mengecil pada patok penanda jarak, dan kerinduan semakin menghentak. Menghadirkan bayangan tentang halaman yang dipenuhi pohon kelapa, jalan setapak berliku yang memagari sungai, sepeda onthel yang melintas di depan rumah simbah, dan wajah-wajah sederhana yang bercahaya. Ahh...semua itu...dan sayup-sayup alunan gending itu..... Gending? Tiba-tiba suara gamelan terdengar di telingaku. Denting-denting lembutnya sayup-sayup terdengar seperti sebuah orkestra halus entah dari mana berasal. "Koq ada suara gending ya Mas?", tanyaku heran kepada sang supir di sebelahku. Ia melihatku tak kalah heran. "Mana, Mas? Saya ndak denger apa-apa..", jawabnya sambil menengok mencari-cari ke luar jendela. Aku juga melongok keluar jendela mobil, mencari-cari asal suara gamelan itu. Suaranya, meski sayup-sayup, tapi jelas sekali nadanya..ningg!..nongg!...ningg!...nongg!..begitu. Mungkinkah ada perhelatan pesta di antara rumah-rumah penduduk di pinggir jalan? Tapi tak ada apa-apa di luar sana. Di sebelah kiri jalan hanya ada warung kecil sederhana dan kios tambal ban. Di sebelah kanan jalan hanya ada hamparan sawah dan sebidang area pemakaman tua dengan batu-batu nisan bercat kapur putih dan pohon kamboja besar yang menaunginya. Tak ada tenda pesta, tak ada panggung, tak ada pengamen di luar sana. Tapi jelas sekali denting-denting itu menari di dalam telingaku! Seperti sebuah pesta....penyambutan?..... [caption id="attachment_128137" align="alignright" width="375" caption="bahkan Orang Besar pun musti merendahkan kepala di lutut Ibundanya"][/caption] Belum lagi hilang kebingunganku, tiba-tiba hadir sosok-sosok yang kuhormati dan kucintai! Mereka hadir begitu saja...tidak secara kasat mata, tidak terlihat oleh yang lainnya..langsung saja hadir di sana..."di depanku", atau lebih tepatnya sebagai bayangan yang plek menempel hadir di benakku. Nyata sekali hadirnya, namun juga sekaligus tidak nyata di mata.Almarhum simbah Puteri dengan kebaya hijau mudanya yang cantik sekali, dan simbah Kakung dengan busana tradisionil jawa berwarna senada lengkap dengan blangkon dan kerisnya. Almarhum simbah buyut putri dan kakung dalam busana tradisionil jawa berwarna kuning emas. Dan berlapis-lapis simbah-simbah lain yang aku tak kenali wajahnya. Beliau-beliau berdiri berdampingan, wajah-wajah lembut mengangguk pelan dan mereka tersenyum kepadaku...seakan mengucapkan selamat datang...kepadaku, cucunya yang paling mbarep (paling tua) ini. Aku yakin sekali tidak sedang tidur ataupun bermimpi. Tidak juga sedang berkhayal atau berilusi....Ya, ternyata mereka semua menyambutku!... Dan kerinduan ini tak bisa lagi kubendung. Desakan air mataku akhirnya tumpah. Mengalir menyatu bersama dengan alunan gamelan itu..bersama bayangan para simbah almarhum. Hingga sang supir makin keheranan melihatku tapi sepertinya merasa sungkan untuk bertanya kenapa. Aku menangis terisak-isak dalam doa dan al fatihah yang kubisikkan sebagai hadiah cinta serta penghormatanku kepada para almarhum. Dan kurasakan betapa mereka juga memiliki kerinduan yang sama....dan merasakan kebahagiaan yang sama....dikunjungi oleh cucu ataupun anak-anak mereka... .. Sahabatku,...jika perjalanan mudikmu penuh dengan kesulitan dan hambatan. Jika langkahmu dibebani ragu. Jika engkau merasakan lelah serta kepenatan yang sangat. Ingatlah bahwa kehadiranmu adalah oleh-oleh terindah bagi mereka yang sudah menjadi awal keberadaanmu: Nenek Kakek, Buyut, Eyang, Simbah, Bapak, Ibu. Dan meski engkau tak bisa lagi sungkem bersimpuh mencium lutut mereka, jika mereka sudah tiada, yakinlah bahwa mereka tetap menunggumu dengan kerinduan, cinta dan kasih sayang yang sangat besar untukmu...yang akan menyambutmu dengan dentingan gending paling bahagia..... Selamat Mudik...membawa bahagia.... :) .. Pada penghujung Ramadhan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H