Lintasan pencarian kedamaian hati adalah sebanyak jumlah jiwa-jiwa. Setiap orang memiliki prosesinya sendiri-sendiri, melalui kelokan dan tanjakannya sendiri, memunguti serpihan demi serpihan makna di sepanjang perjalanan yang dilalui. Ruhaninya bertumbuh dari semula kuncup menjadi berkembang indah disirami air pengetahuan dan hembusan angin pemahaman akan makna-makna kehidupan. Dalam terminologi GW Friedrich Hegel (1770-1831), sang raksasa filsafat modern, verstand (akal budi) dan vernunft (intelek) harus mengembara untuk menyingkap kebenaran di balik segala fenomena. Untuk mendapatkan kebenaran sejati, ia harus mengembara dan mendewasakan dirinya..dari ruh individual menjadi ruh obyektif dan akhirnya menyentuh ruh absolut!.. Seringkali perjalanan itu memakan waktu berpuluh-puluh tahun bahkan sepanjang hidupnya. De Geist (kesadaran akan esensi), sebagai ruh pengembara yang telah dewasa, kemudian mentajalikan dirinya ke dalam virtues dan wisdoms....yang selanjutnya dibawa melintasi masa dan diwariskan dari generasi ke generasi. Demikianlah "agama-agama bumi" mengkristalisasi prosesi pencariannya secara bersahaja... Tidak demikian dengan "agama-agama langit", yang menerima seperangkat kebenaran begitu saja jatuh dari dunia atas sana. Sementara agama-agama bumi pelan sekali melangkah memunguti remah-remah hikmah, agama-agama langit menikmati previlege yang sangat besar..."ketiban kebenaran" dalam semalam atau beberapa tahun saja... :) Boleh saja kita tidak meragukan kematangan De Geist dari para Nabi dan Rasul yang menerima anugerah tersebut. Persentuhan Nabi dan Rasul dengan Yang Maha Mengetahui Semuanya, tentu saja harus diawali dengan penyiapan Nabi dan Rasul sebagai "wadah" yang harus mampu menampung THE ultimate wisdoms dan esensi dari segala kenyataan kehidupan di masa lalu , masa kini, dan masa datang seluruhnya. Seluruh prosesi dan perjalanan makhluk dalam mencari kebenaran telah berkumpul dan terangkum di dalam wawasan pengetahuannya. Demikian pula dengan para ulil albab (mereka yang inti nuraninya -lubb- telah tercerahkan. Jadi bukan sekedar "orang yang punya ilmu", penghafal buku atau sekedar "ulama") sebagai para pewaris Nabi dan Rasul. Namun dari keluasan pengetahuan itulah, justru kemudian Nabi Rasul dan para ulil-albab tampil dalam kelembutan, bersahaja, memahami, toleran dan berempati di hadapan mereka yang lain yang berbeda. Pengetahuan mereka telah melingkupi pengetahuan para pencari, dan justru karena itu para Nabi Rasul dan mereka yang tercerahkan tampil penuh kasih sayang, rendah hati, mengasuh dan menunjukkan jalan kelembutan kepada mereka yang masih berjalan mencari. Semakin berisi, semakin merunduk sang padi... Tanpa keluasan pengetahuan dan empati akan prosesi pencarian individu jiwa-jiwa, yang bisa mengambil jalan-jalan yang beragam dan berbeda-beda satu sama lain, para pengamal "kebenaran instan" agama-agama langit hanya akan tampil penuh arogansi, merendahkan, memaksakan....dan cenderung menutup mata dari keindahan kristal-kristal penuh hikmah yang tumbuh dari agama-agama bumi. Tanpa kematangan de Geist, para pengamal "kebenaran instan" agama langit hanya akan mentok pada deretan fenomena inderawi tanpa mampu melampauinya tuk melihat makna yang lebih dalam di baliknya. Tanpa "wadah" yang memadai, "kebenaran instan" agama langit tak mampu dicicipi secara lebih kaya rasa karena pengamalnya lebih sibuk mencekoki sambil berteriak-teriak bak menjual kecap nomer satu...daripada duduk tenang mencicipi sendiri dan menghayati kelembutan citarasanya yang lebih dalam. Dan tanpa keterbukaan, empati serta kelapangan hati, "kebenaran instan" agama- agama langit cuma akan menjadi kumpulan teks yang (seakan) gagap, tuli dan bisu terhadap perkembangan zaman. Yang beku dan tak mau mendengarkan. Tentu saja bukan berarti teks-nya yang salah, apalagi jika kita meyakini bahwa itu adalah Kalam Ilahi Yang Maha Benar. Tetapi lebih sering karena mereka yang membacanya (dan yang mengaku pandai membacanya) terlalu terlenakan oleh "kebenaran instan" yang dirasa tak perlu lagi dipertanyakan atau diperdebatkan. Prosesi telah selesai, kebenaran telah menjadi. Tak diperlukan lagi perjalanan memunguti remah-remah hikmah dilakukan. Dan dengan begitu...merekapun menjadi buta, tuli dan bisu akan esensi dari luasnya hikmah dan indahnya kristal mutiara yang bertaburan di balik deretan huruf dan kata-kata !... Selamat Tahun Baru 1 Muharram 1431H.... :)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H