Mohon tunggu...
Deni I. Dahlan
Deni I. Dahlan Mohon Tunggu... Penulis - WNI

Warga Negara Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Sepucuk Pesan dari Seekor Merpati

4 Mei 2021   02:09 Diperbarui: 4 Mei 2021   02:12 415
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sore itu langit berwarna temaram. Cahaya jingga kecoklatan membaur di langit barat. Awan dan matahari hampir kehilangan daya tariknya, bersiap memberikan giliran kepada sang malam.

Di sebuah gunung asing, tampak seorang pemuda tertunduk lesu. Ia duduk di bawah pohon rindang, sambil memegangi kepalanya.

"Kurang ajar!" katanya.

Ia sudah berjalan kaki selama dua hari dua malam sebelumnya. Ia ingin kembali ke bawah gunung, tempat orang -- orang gunung itu tinggal. Namun tenaganya tinggal sedikit, jadi ia memutuskan beristirahat disana.

"Bisa -- bisanya dia menipuku!" gerutunya.

Lalu ia menggenggam peta air terjun. Ia menjadi semakin geram, lalu meremasnya dan melemparnya ke sembarang arah.

"Peta sialan!"

Lalu ia menggenggam sebuah tombak disebelahnya. Ia ingin membuang tombak itu juga. Tapi ia ingat, tombak itu pernah menyelamatkan nyawanya saat diserang hantu kelaparan.

"Aku kesal dengan cenayang itu. Dia menipuku selama ini. Tapi tombak pemberian darinya ini juga pernah menolongku."

Ia melihat ukiran di gagang tombak itu. Tak ada yang khusus dengannya. Tapi dua kali ia diselamatkan olehnya.

"Kenapa ukiran ini tidak bercahaya seperti waktu aku diserang hantu itu?" katanya penasaran.

"Ah, mungkin ini hanya berguna saat aku dalam keadaan terdesak saja." Lalu ia menyelempangkan tombak itu di balik punggungnya.

Ia ingin sekali berjalan sekarang, namun tenaganya masih belum pulih. Lalu ia mengeluarkan secarik foto. Foto si gadis pujaannya.

"Kupikir aku bisa menemukan air suci itu, lalu bertemu denganmu. Tapi aku baru sadar, ternyata cerita itu hanya lelucon. Sekarang aku tak tahu harus bagaimana lagi." katanya sambil terus tertunduk.

Angin di gunung itu bergerak dengan lembut. Menyihir siapapun dengan sepoi -- sepoinya, termasuk si pemuda. Ia terbius oleh angin semilir, dan lama -- kelamaan ia jatuh tertidur.

Saat pulas -- pulasnya ia beristirahat, tiba -- tiba terdengar suara "Dekukur.. Dekukur.."

Suara itu membuatnya terbangun. Ia menoleh kanan kiri tapi tidak menemukan apapun. Lalu ia mendengar suara kepak sayap di belakangnya. Setelah dilihat, ternyata seekor burung merpati.

"Halo, merpati. Kau membuatku terbangun."

Lalu merpati itu berjalan menuju si pemuda. Ia berhenti persis di depannya.

"Hem.. Mau apa kau? Mau menipuku juga?"

Si merpati tak menjawab. Malah dia mengepakkan sayapnya dan terbang menuju badan si pemuda. Kejadian itu sontak membuat si pemuda menangkap merpati itu.

"Hei, ada sesuatu di kakimu."

Lalu ia mengambil sebuah gulungan kertas dari kaki merpati.

"Ah, sebuat surat."

Setelah melihat stempel kerajaan di amplop itu, ia membukanya.

Halo Tuan Pemuda.

Lewat surat singkat ini, aku menyampaikan kalau suratmu sudah kuterima.

Sekarang bulan ke delapan. Aku masih belum bisa pergi ke kota karena dua hal.

Pertama, memang kondisi fisikku sudah pulih. Tapi aku masih tidak yakin dengan keberadaan makhluk halus di hutan itu.

Kedua, di kerajaan ini juga banyak kabar burung yang membuat bingung. Ada beberapa warga kami yang tak setuju jika kerajaan meminta bantuan dari pihak Anda. Mereka berkata, itu bakal mengurangi kekuasaan kerajaan kami, dan akan memperbudak kami secara tidak langsung. Aku cukup kerepotan dibuatnya.

Oleh karena itulah, aku minta maaf. Mungkin butuh waktu sedikit lagi agar bisa mengantarkan barang itu kepadamu. Kami harap Anda tak keberatan menunggu waktu baik itu datang.

Dengan penuh kepercayaan,

Tuan Pengacara

Si pemuda lalu memasukkan surat itu ke dalam tasnya. Ia merenung sebentar. Surat itu dari seorang pengacara dari kerajaan lain. Dan katanya ia diminta untuk menunggu agar bisa bertemu dengannya.

"Apa ini.. Aku belum mengusir makhluk itu dari hutan, tapi di kerajaannya ada masalah juga. Makin berat saja." katanya sambil bertopang dagu.

Lalu si merpati turun dari pangkuan si pemuda. Merpati itu berjalan ke suatu arah, lalu mencucuk sesuatu di atas tanah. Merpati itu mencucuk gumpalan kertas yang dibuang pemuda tadi, lalu membawanya ke pemuda.

"Apa? Peta itu penipu! Aku tak butuh lagi!"

Tapi si merpati malah mendekati si pemuda.

"Sudah kubilang, aku tak ingin peta itu lagi!"

Tapi si merpati malah membuka peta itu dengan kedua cakarnya.

"Kau ini.. tak bisa.." saat si pemuda melihat peta itu, ternyata ada yang berbeda.

Kertas itu kini bercahaya, tepat di atas simbol X ada cahaya yang bersinar.

"Apa ini?"

Si pemuda mengamati tanda X di peta itu. Huruf itu terus memancarkan cahaya kemerahan  dan menyala terang.

Lalu si pemuda sadar kalau letak tanda X itu tidak di posisi sebelumnya. Tanda itu telah pindah.

"Tunggu.. Kalau tidak salah, tadi tanda X ini ada si sebelah kanan atas. Kenapa sekarang pindah ke tengah?"

Lalu si pemuda melilhat tanah di sekelilingnya.

"Ini.. tanda X ini tak jauh dari sini."

Si pemuda kemudian berdiri dan mencoba berjalan ke satu arah. Anehnya, setiap kali pemuda melangkah, tanda X itu juga ikut pindah.

"Ini makin aneh."

Sebelum kebingungan si pemuda usai, ia malah dibuat heran dengan tombak di balik punggungnya. Tombak itu, tanpa ada angin tanpa ada apa, tiba -- tiba mulai bergetar.

Si pemuda yang merasa tak enak, segera mengambil tombak itu dari balik punggungnya. Dan setelah dilihat, di gagang tombak itu ada ukiran yang mulai berpendar. Lama -- lama cahayanya makin terang, sehingga ukiran yang bertuliskan huruf kuno itu bisa terbaca dengan jelas.

"Kdoo-Nyan" ucap si pemuda itu, membaca ukiran yang dimaksud.

Setelah itu, peta yang digenggamnya tadi, tiba -- tiba terangkat sendiri. Ia melayang ke atas perlahan -- lahan, lalu kertas itu melambai -- lambai di kedua sisinya. Persis seperti seekor burung yang sedang mengepakkan kedua sayapnya.

Lalu kertas itu, masih di atas, perlahan meremas dirinya sendiri dan.. Passs... Kertas itu hilang bersama dengan munculnya asap tipis. Si pemuda yang kaget jatuh terjengkang sambil menutupi kedua matanya.

Saat ia membuka kedua matanya, di depannya ada dua biji tanaman. Ia tak tahu biji tanaman apa itu, tapi ia ingat akan ketiga bait puisi yang tertera di peta tadi.

"Ladang tandus kan bersinar
Kepak elang kan terdengar
Benih tanaman kan bertemu"

Tanpa banyak pikir lagi, ia kemudian mengambil kedua biji itu. Lalu ia menempelnya menjadi satu. Dan seketika.. muncullah sebuah botol kecil berwarna bening.

Botol itu, di dalamnya ada air terjun mini, yang mengalir dari atas tutup botol ke dasar botol. Alirannya sangat deras, dan airnya terlihat jernih sekali.

Si pemuda merasa campur aduk. Heran, bingung sekaligus takjub akan yang dilihatnya.

"Cenayang itu.. benar -- benar seorang penipu!" Mulutnya kembali menggerutu, tapi jauh di dasar lubuk hatinya, ada secuil rasa puas yang tak terhingga kiranya, dan itulah yang membuat tenaganya penuh lagi, sehingga ia memberanikan diri untuk terus melangkah, dan terus melangkah untuk menggapai apa yang diinginkannya.

Tamat

Cerita sebelumnya:
Si Turis, Si Pemuda, dan Air Terjun Keabadian

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun