Aku punya seekor cacing
Setiap hari ia berbaring di tanah, tak kemana - mana
Geraknya amat lambat, pindah sejengkal bagai naik mobil dua hari dua malam
Alangkah misteriusnya alam
Ia menghidupkan cacing yang tak setampan merak
Ia memperlihatkan cacing yang tak sekuat gajah
Ia menampakkan cacing yang tak sesempurna kupu - kupu
Bunglon yang aneh saja bisa menyamar
Siput yang berlendir saja punya rumah untuk melindungi diri
Semut, yang kecil dan sering ditindas masih terikat kerjasama tim yang solid
Tapi cacing?
Jangankan cakar lancip atau taring tajam untuk menyerang, cangkang untuk bertahan saja tak punya
Ia begitu rentan
Begitu terbuka untuk diserang siapa saja
Apalagi jabatan
Raja hutan sudah tersemat kepada singa
Penguasa udara sudah direnggut elang
Air dan lautan milik hiu dan pemangsa lainnya
Tapi cacing?
Jangankan pangkat yang melambungkan namanya, tidak diinjak saja sudah bagai durian runtuh
Ia tak mampu kemanapun
Menunggu adalah hidupnya
Bagaimana dengan ulat?
Ia sama lambatnya, sama jijiknya
Tapi ulat hanya awal, sebelum akhirnya jadi kupu yang cantik
Cacing tetaplah cacing dari hidup sampai mati
Cing,
Peranmu bukan memangsa buruan, tapi dicucuk ayam
Tempatmu bukan di istana megah, tapi di lumpur kotor
Pantasmu bukan dijunjung mulia, tapi diabaikan dan dihina
Tapi seperti yang kubilang
Alam sungguh misterius
Walau sudah sehina itu, ada saja cacing berlagak intelek dan bergaya sok keren
Ia mengira dirinya sedang terbang tinggi meninggalkan lumpur becek
Dan tak sadar kalau sedang dicucuk paruh burung elang
Mau di bumi, mau di udara
Cacing tetaplah lamban, hina dan membuat jijik dunia
Tapi itu cacing lain
Bukan cacing milikku