Mohon tunggu...
januri prakoso
januri prakoso Mohon Tunggu... -

Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Redupnya Cahaya Hati

4 Oktober 2014   03:10 Diperbarui: 17 Juni 2015   22:27 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Hatiku terasa terbelenggu oleh nafsu. Nafsu menghinakan yang dibawa oleh bisikan setan. Merasuk lewat denyut nadi saatku lengah dari menyebut asma Illahi. Mereka menumpuk titik-titik noda dengan sabarnya. Bukan pada pakaian kasat mata. Tapi pada pakaian jiwa. Hati manusia.

Sebisa mungkin kuyakini ini hanyalah godaan kecil. Yang takan mempengaruhi kedekatanku pada Tuhanku. Namun meremehkan godaan setan adalah kesalahan terbesar, membiarkan setan mengendalikan hati adalah bentuk bunuh diri yang tak kusadari.

Awalnya mereka mengajak berbincang “tak inginkah kau menunda ritual-ritualmu itu?” .“Tuhan aku berlindung pada MU” jawabku. Kulakukan ibadahku seperti biasa. Tanpa kuhiraukan pertanyaan darinya. Namun tanpa disadari ada rasa tak nyaman saat berdiri, ada getaran-getaran sinis yang mengiringgi ibadah ini.

“tak apalah kau tetap beribadah, itu memang kewajibanmu pada pencipta-MU. Namun setelah kau tunaikan kewajibanmu, ikut aku, akan kutunjukkan kenikmatan dunia yang belum kau rasa, dia kan memberimu senyuman nyata bukan ritual-ritual gila” bisik itu lagi. Bisikan ini semakin besar terdengar. Akalku mulai berlari-lari mencari tahu “kenikmatan apaitu”.

Pertarungan besar dimulai. Jiwaku dengan seribu pasukan putih membawa hasrat lirih. Melawan seribu tentara merah tak mau kalah. Netralnya hati sebagai tempat pertempuran, siapa yang menangkan mengendalikan. Besarnya cahaya dari NYA memenangkan semuanya. Dengan kekalahan ini pergilah hasrat diri.

Esok hari, kembali lagi bisikan dari mahluk terkutuk. Dia tak mengajak berperang hanya membawa surat persahabatan. Tak tahu kenapa, kuterima saja permintaan darinya. Dengan mudahnya. Apakah ini pertanda, bahwa hati mulai terkotori.

Persahabatan yang makin erat. Bersahabat dengan mahluk yang memusuhi Tuhan, meski ibadah tak kutinggalkan, cahaya dari Nya terasa semakin memudar. Inilah pertanda Tuhan tak mau didua. Terlebih dengan mahluk hina sepertinya.

Tanpa kusadari diri seperti punya dua sisi. Satu sisi seperti insan teladan, sisi lainya seperti mahluk penuh kemunafikan. Ibadah kujalani, kemaksiatan makin mendekati. Tak sanggup ku berpaling dari rayuan gila ini. Mereka semakin merindu padaku tuk segera meluapkan nafsu duniawiku. Dalam bentuk kemaksiatan nyata bukan niat semata…..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun