Secara teoritis dalam pelaksanaan Pemilu rakyat memiliki peranan penting dan sangat sentral. Dalam hal ini rakyat bagaikan malaikat yang menentukan nasib seorang kandidat untuk terpilih maupun gugur, baik itu dalam pemilihan kepala desa, pemilihan kepala daerah, pemilihan legislatif maupun pemilihan presiden. Sehingga ada anekdot yang mengatakan bahwa hari H pemilihan merupakan momen penghakiman rakyat terhadap kandidat. Selain keberadaannya sebagai konstituen yang menentukan terpilihnya seorang kandidat, tujuan utama pemilihan tersebut pada esensinya bermuara kepada kepentingan rakyat itu sendiri.
Idealnya itulah makna dan tujuan sistem demokrasi sesungguhnya, dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Suka tidak suka sampai hari ini sistem demokrasi merupakan pilihan yang paling ideal untuk diterapkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Jika ada kritisi dan pandangan sinis terhadap praktek pemilihan umum sebagai bentuk penerapan sistem demokrasi maka hal itu mesti disikapi dengan wajar-wajar saja, karena memang masih banyak sisi negatif pelaksanaan pemilihan umum tersebut.
Namun menurut realita yang terjadi, apakah pelaksanaan pemilihan umum di Indonesia yang berlangsung selama era reformasi telah terjadi sesuai dengan tujuan dan makna demokrasi itu sendiri ?
Kita sebagai warga negara Indonesia patut mensyukuri telah terjadinya proses demokratisasi kehidupan berbangsa dan bernegara dengan bentuk pemilihan umum yang menempatkan rakyat sebagai pemegang hak sesungguhnya menentukan pilihannya. Dinamika ini merupakan sebuah kemajuan jika dibandingkan dengan atmosfir kehidupan politik orde baru yang manipulatif, represif dan hanya bertujuan melanggengkan kepentingan kelompok tertentu mempertahankan rezim kekuasaannya.
Pemilihan umum yang dilaksanakan paska runtuhnya kekuasaan orde baru merupakan angin segar dan pintu terbuka bagi semua kalangan untuk ikut berpartisipasi dalam kehidupan berdemokrasi, dan menjadi sarana efektif bagi para politisi untuk berkiprah dalam gelanggang politik maupun menjadi anggota legislatif dan eksekutif. Dengan demikian terjadi proses regenerasi dan kemunculan para politisi baru yang mampu mewarnai kehidupan berbangsa dan bernegara. Maka wajar kehidupan demokrasi ini harus dikawal dan dilestarikan sebagaimana mestinya walaupun masih memiliki kekurangan dan ketidak puasan dalam prakteknya.
Menurut para pakar dan pengamat, pelaksanaan pemilihan umum legislatif 2014 dianggap memiliki kualitas paling buruk sepanjang era reformasi. Memang masih diperlukan pemaparan lebih luas tentang sisi mana yang dianggap membuat kualitas pileg kali ini disebut berkualitas rendah, apakah dari sisi pelaksana atau proses pemilihan umum itu sendiri. Jika melihat proses pelaksanaan pemilu memang masih banyak keraguan terhadap indepensi dan kemampuan para pelaksana, terutama ditataran terendah seperti di tempat pemilihan suara (TPS) maupun ketika pelaksanaan proses rekapitulasi perolehan suara.
Namun disamping kualitas pelaksana pemilu itu, ada fenomena lebih menarik untuk diperbincangkan dalam proses pelaksanaan pemilu 2014, yaitu dugaan semakin maraknya praktek money politics atau jual beli suara, terutama dalam hal pencoblosan atau memilih partai maupun calon anggota legislatif. Banyak pihak yang sepakat praktek money politics kali ini sangat vulgar dan dapat dilihat secara kasat mata.
Bukan merupakan rahasia lagi bahwa masyarakat sebagai konstituen sudah secara terang-terangan berkata kepada para caleg bahwa "Ada uang-Ada Suara". Artinya jika seorang caleg tidak memberikan sesuatu, baik itu berupa barang maupun uang maka jangan berharap seorang caleg akan memperoleh suara dari rakyat. Kejadian seperti ini banyak dirasakan langsung oleh para caleg ketika melakukan sosialisasi maupun kampanye di tengah-tengah masyarakat. Ironisnya, para pimpinan komunitas masyarakat juga mengaku tidak mampu mengarahkan pilihan anggota komunitasnya apabila tidak ada memperoleh sesuatu pemberian dari caleg maupun partai politik.
Berdasarkan pengalaman itu maka tidak dapat dipungkiri bahwa proses pemilihan atau pemungutan suara pada Pemilu 2014 yang baru saja berlangsung sangat sarat dengan praktek transaksional, baik secara terbuka maupun secara diam-diam. Bukan merupakan pemandangan asing lagi bahwa banyak para caleg mundur secara pelan-pelan dan hanya menyerahkan nasibnya kepada keberuntungan karena tidak mampu memenuhi permintaan masyarakat secara finansial.
Konsekuensi praktek money politics hanya caleg memiliki kemampuan keuangan besar melanjutkan proses sosialisasi serta kampanye politik, sehingga para caleg yang memiliki dana besar yang berhasil terpilih menjadi anggota legislatif, baik sebagai anggota DPR RI maupun DPRD. Maka jangan heran jika para anggota legislatif yang akan menduduki kursi anggota dewan akan didominasi oleh orang yang telah mapan secara finansial, dan banyak diantara mereka merupakan para pengusaha maupun dari lingkaran keluarga penguasa daerah.
Mencermati kecenderungan yang terjadi, dan menelisik pelaksanaan pemilu yang telah beberapa kali dilakukan, banyak pihak mengakui bahwa untuk ikut terjun dalam pemilu membutuhkan dana yang besar (High Cost). Sehingga ada wacana mengatakan hanya orang yang memiliki duit banyak yang mampu berkiprah dalam pemilu, baik pemilihan kepala daerah maupun maupun pemilihan legislatif. Logika tersebut memang ada benarnya jika melihat begitu besarnya biaya yang dibutuhkan dan dikeluarkan seorang kandidat yang ikut bertarung dalam setiap pemilihan umum.