Mohon tunggu...
Daud Ginting
Daud Ginting Mohon Tunggu... Freelancer - Wiraswasta

"Menyelusuri ruang-ruang keheningan mencari makna untuk merangkai kata-kata dalam atmosfir berpikir merdeka !!!"

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Relativisme “Dosa Struktural” Kehidupan Modern

20 Oktober 2012   07:05 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:36 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kita sekarang hidup dalam suatu dunia yang selalu berubah, bahkan perubahan tersebut adakalanya terjadi lebih cepat dibandingkan kemampuan kita merubah paradigma kita, baik itu kerangka berpikir, sikap, perkataan dan tindakan. Walaupun demikian tidak semestinya perubahan zaman di maknai sebagai sebuah bumerang, karena realita tersebut pada essensinya merupakan produkyang dihasilkan keunggulan pengetahuan umat manusia, dan merupakan dinamika yang erat dengan sifat manusia yang selalu dinamis, tidak statis.

Sebagai salah satu mahkluk ciftaan Allah paling sempurna dibandingkan primata lain, manusia sesungguhnya sangat dinamis, paradok dan multidimensional karena memiliki kemampuan berpikir serta selalu tidak merasa puas dengan pengetahuan yang dimilikinya, bahkan pengetahuan manusia seluas pengetahuan itu sendiri, walau kadang kita tidak memiliki pengetahuan seluas pengetahuan tersebut. Ketika umat manusia tidak memiliki pengetahuan tidak seluas pengetahuan maka pada saat itulah dia heran, bertanya, bahkan bisa jadi merasa terasing dengan pengetahuan yang luas tersebut.

Keterasingan kita terhadap perubahan zaman yang begitu cepat berubah tidak dapat dipisahkan dari kemampuan kita memahami pengetahuan yang demikian luas tersebut, bahkan adakalanya pengetahuan yang berkembang melampaui kepemilikan kita terhadap pengetahuan, oleh karena itu setiap manusia dituntut untuk terus melek pengetahuan karena sudah merupakan eksistensi manusia untuk selalu mengembangkan pengetahuan sebagai konsekuensi sifat ke-dinamis-an umat manusia.

Berdasarkan sejarah perkembangan aliran pemikiran umat manusia (Filsafat Barat) dapat kita peroleh gambaran bahwa pemikiran manusia itu sangat dinamis dan selalu mengalami perubahan, pada jaman Yunani Kuno manusia sangat mempercayai mitos (mitologi), kemudian pra-abad pertengahan aliran pemikiran manusia berorientasi Theosentris –Tuhan sebagai pusat segalanya-, semua yang dipikirkan manusia dikaitkan dengan eksistensi Tuhan, manusia berpikir sangat dogmatis dan cenderung religious. Kemudian muncul era renaissance yang menjadikan manusia sebagai titik sentral atau pusat segalanya (antroposentris), semua dimensi alam semesta dan eksistensi manusia dipandang dalam kerangka kepentingan dan sudut pandang manusia.

Tidak dapat dipungkiri, aliran pemikiran antroposentris ini menjadi tonggak sejarah dan entry point atau pintu masuk kemajuan pengetahuan umat manusia paling spektakuler, yaitu munculnya ilmu pengetahuan modern, industrialisasi dan demokratisasi, salah satu ciri khas yang menonjol dari zaman renaissance ini liberalisasi, aspek kehidupan umat manusia berorientasi kepada kepentingan dan kesenangan manusia diatas segalanya, dan mendobrak aliran pemikiran theosentris sebelumnya yang mapan.

Kini kita hidup dalam atmosfir zaman modern yang memiliki kaitan erat dengan aliran pemikiran renaissance yang cenderung liberal dan kemudian melahirkan kapitalisme. Umat manusia kemudian menganut metode pengetahuan empiris yang mempergunakan aksioma matematis (kuantitatif), Semua objek kajian dan pengetahuan manusia diukur dan diformulasikan dalam bentuk angka-angka, dan pengetahuan yang benar harus bisa dipertanggungjawabkan secara rasional, dan pengetahuan dinilai atau diverifikasi kebenarannya sejauh pengetahuan itu mendekati kenyataan (realita). Bahkan harus diuji melalui observasi dan eksprimen terhadap hipotesa untuk mencari kebenaran yang dianggap paling sempurna dan dapat diterima secara universal.

Rasionalitas dan universalitas pengetahuan inilah sebagai salah satu sumber munculnya pertentangan kebenaran bagi umat manusia dan menjerumuskan umat manusia untuk terlibat dalam blok-blok aliran pemikiran, salah satu pertentangan terbesar tersebut terjadi pada pertentangan antara kapitalisme dan komunisme, persaingan ini selanjutnya menjadikan kehidupan umat manusia terjebak dalam perang dingin berkepanjangan. Namun runtuhnya Uni Soviet dan Tembok Berlin menjadi ujian kembali bagi umat manusia untuk selalu melakukan ziarah, permenungan dan refleksi terhadap universalitas pengetahuan yang dimiliki umat manusia dewasa ini.

Satu sisi, keruntuhan komunisme dari dalam dirinya sendiri ditanggapi pihak tertentu sebagai bukti bahwa philosopi atau ideology komunisme tidak mampu membuktikan keampuhannya mengantarkan umat manusia menuju kesempurnaan hidup, di sisi lain ada pihak yang meng-klaim bahwa satu-satunya ideology paling tepat dan relevan untuk zaman dewasa ini adalah kapitalisme, pendapat paling popular seperti ini dapat kita dengar dari Francis Fukuyama. Namun thesis Fukuyama ini sendiri tidak sepi dari gugatan dan kritisi, bahkan sampai hari ini masih banyak ujian yang dialamatkan kepada “narsisme kapitalisme” ini, terutama dalam mencermati kondisi mutakhir perekonomian Negara-negara belahan Eropah yang sampai hari ini masih “galau” karena dirundung kelesuan ekonomi.

Kritisi terhadap kapitalisme sebenarnya bukan hanya muncul saat ini, tetapi penentangan terhadap relevansi kapitalisme telah terjadi dalam kurun waktu sebelumnya, salah satu antithesis paling fenomenal adalah Marxisme-nya Karl Marx yang lahir untuk mencoba menohok langsung ke jantung kapitalisme yang dianggap menjadikan manusia (buruh) ter-alienasi –terasing- dari dirinya sendiri. Namun seiring dengan semakin tersingkirnya komunisme dari system kehidupan ber-negara di beberapa belahan dunia menjadikan umat manusia kembali mencari format baru ideology atau philosopi yang dianggap mampu menjawab keterasingannya dari system kehidupan modern dewasa ini. Artinya, umat manusia sampai hari ini masih tetap berupaya mencari format pengetahuan yang dianggap mampu menjawab kegelisahannya dalam menjalani dan memaknai atmosfir kehidupan kontemporer.

Sampai hari ini umat manusia belum sampai pada titik paripurna pengetahuannya, bahkan semakin berupaya sekuat kemampuannya mencari format yang dianggap paling tepat. Kecenderungan mencari format baru ini juga melanda atmosfir kehidupan bangsa Indonesia dewasa ini. Sebagai Negara entitas kehidupan global dan modern Bangsa Indonesia sejak lahirnya era reformasi dianggap telah memasuki suatu zaman modern dan dianggap ikut menganut pengetahuan universal dalam praktek kehidupan sosial, politik dan ekonomi.

Reformasi 1998 mengantarkan Bangsa Indonesia memasuki kehidupan berbangsa dan bernegara yang relatif demokratis, sehingga secara inplisit mengemuka harapan akan terwujudnya kehidupan yang lebih baik dibandingkan masa sebelumnya, dan terbersit keinginan untuk mewujudkan kehidupan yang lebih subsidiaritas dan solidaritas. Secara vertikal dalam kehidupan berbangsa dan bernegara diharapkan terwujud kepedulian sosial untuk mengangkat kesejahteraan masyarakat (subsidiaritas), sedangkan secara horizontal diharapkan terwujud kepdulian sosial antara sesama – berempathy-, dan saling menghargai serta menghormati bagi sesama sebagai salah satu bentuk kecerdasan memproyeksikan diri kedalam perasaan yang tengah terjadi didalam diri sesame umat manusia (soladiritas).

Namun tidak dapat dipungkiri, secara kasat mata dapat kita lihat atmosfir kehidupan dewasa ini justru tidak sepi dari aliran pemikiran yang menganggap pengetahuan yang dimiliki sebagai paling benar dan berupaya menyingkirkan pengetahuan yang dimiliki oleh orang lain (Fundamentalisme). Ketidakrelaan menerima eksistensi perbedaan ini adakalanya menyulut timbulnya pertentangan keras dan gesekan terhadap harmonisasi kehidupan, bahkan menimbulkan relativisme dan ekstrisme.

Sikap merelatifkan segalanya secara ekstrim menjadi tantangan kehidupan berbangsa dan bermasyarakat di Indonesia dewasa ini, dan fenomena ini menjadi salah satu ujian berarti dalam era reformasi dewasa ini, dan tidak berlebihan jika dikatakan bahwa sikap memutlakkan pengetahuan sendiri sebagai pengetahuan yang dianggap paling benar merupakan “dosa struktural” yang diwariskan dari sejarah panjang proses pencarian umat manusia terhadap pengetahuan universal.

Jika secara religius umat manusia meyakini memiliki dosa asal yang diwariskan dari perbuatan Adam dan Hawa, maka dalam kehidupan modern dewasa ini umat manusia dihinggapi oleh dua dosa asal, yaitu ditambah dengan “dosa struktural” yang diwariskan oleh para pendahulu umat manusia. Kemunculan dosa struktural ini tidak dapat dilepaskan dari sikap manusia itu sendiri yang mengingkari eksistensinya yang sebenarnya dinamis, paradok dan multidimensional.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun