Keberhasilan pasangan Joko Widodo unggul dalam putaran pertama pemilihan gubernur Jakarta merupakan sebuah fenomena dan menjadi bahan perbincangan menarik bagi masyarakat, para politisi maupun pengamat politik. Kemenangan calon yang dibesut PDIP dan Gerindra ini merupakan kejutan, banyak kalangan yang tidak menduganya sebelumnya, bahkan lembaga survey yang sebelumnya dianggap sebagai sebuah lembaga yang mampu memproyeksikan peta pemenang pada setiap pelaksanaan pilkada, pemilihan umum dan pemilihan presiden pada pemilihan gubernur Jakarta hasil survey umumnya berbending terbalik dengan realita hasil akhir pemiklihan gubernur Jakarta.
Pemilihan gubernur Jakarta dengan keberhasilan pasangan Jokowi mengungguli saingannya merupakan bahan perdebatan dan kajian yang menarik sampai hari ini, karena selain mampu meretas kemapanan pemikiran yang berkembang selama ini, kemenangan pasangan Jokowi ini juga menjaditrendsetter, atau mampu menjadi poloa anutan yang ingin direalisasikan oleh masyarakat di seluruh pelosok nusantara.
Trend yang menarik bagi masyarakat dewasa ini adalah kerinduan akan munculnya calon pemimpij yang memiliki pigur baru, pigur yang lain dari yang lain. Selama ini, khususnya paska lahirnya era reformasi yang membuka kesempatan pemilihan langsung pada intinya masyarakat berharap mampu memperoleh pemimpin yang ideal, terutama menghasilkan pemimpin yang benar-benar mampu berempati terhadap perasaan masyarakat dan mampu memberikan kepemimpinan yang merealisasikan harapan masyarakat.
Namun berdasarkan pengalaman, dan kecenderungan yang umumnya terjadi dieseluruh daerah, pemilihan langsung tersebut ternyata tidak mampu melahirkan seorang pemimpin yang benar-benar sesuai dengan harapan masyarakat, bahkan pemimpin muncul justru banyak yang menjadi sumber dan bagian masalah keruwetanb kehidupan berbangsa dan bernegara. Ironisnya banyak pemimpin yang muncul hanya mengumbar janji muluk-muluk, manis dibibir dan tidak membumi pada saat kampanye, dan ketika terpilih menjadi pemimpin justru bersikap dan bertindak tidak sesuai dengan harapan  masyarakat, bahkan cenderung hanya mengutamakan kepentingan pribadi dan kelompoknya dan hanya sekedar melampiaskan syahwat atau libido politiknya.
Yang membuat hati masyarakat semakin meringis dan membuat muak terhadap tingkah para politisi adalah panjangnya barisan para politisi terutama pemimpin daerah yang terlibat dalam kasus korupsi. Bahkan hasil perkembangan pembangunan di daerah selama era reformasi dinilai tidak memiliki perubahan secara signifikan jika dibandingkan dengan era orde baru, bahkan banyak objek pembangunan selama orde reformasi justru hanya proyek tambal sulam terhadap proyek yang sudah ada  sejak era sebelumnya, bahkan yang banyak terjadi justru pelapukan terhadap infrastruktur pembangunan yang sudah ada sebelumnya.
Selain  hasil perkembangan pembangunan yang tidak mampu menyentuh kepentingan umum masyarakat, kehidupan masyarakat dewasa ini justru semakin sulit secara ekonomi, banyak sektor-sektor industri yang merupakan tempat menggantungkan hidup hidup masyarakat semakin terabaikan bahkan hidup segan mati tidak mau akibat kompetisi kehidupan ekonomi yang semakin kapitalistik, liberal dan kebijakan pemerintah yang hanya berorientasi kepada kepentingan para pemilik modal besar maupun perusahaan transnasional.
Akumulasi pengalaman pahit dan kekecewaaan masyarakat ini melahirkan sebuah kerinduan terhadap munculnya pemimpin yang memiliki resonansi kepemimpinan empatik, mampu memahami dan menyelami harapan serta keinginan masyarakat serta mampu merealisasikan kepemimpinan yang berorientasi kepada kepentingan masyarakat.
Kemenangan Jokowi pada putaran pertama pada pemilihan gubernur Jakarta dianggap sebagai sebuah contoh dan bukti bahwa telah terjadi suatu proses pemilihan kepala daerah yang mampu memunculkan seorang pigur pemimpin yang sesuai dengan harapan masyarakat, yaitu seorang pigur yang dianggap memiliki rekam jejak kepemimpinan merakyat, mampu mengemban amanah rakyat dan seorang pemimpin yang tampil apa adanya alias tidak penuh dengan polesan pencitraan sebagaimana umumnya terjadi disetiap pelaksanaan pemilihan langsung calon pemimpin kepala daerah maupun presiden.
Sumatera Utara sebagai salah satu propinsi terbesar di Indonesia dalam waktu yang tidak lama lagi akan melaksanakan pemilihan gubernur Sumatera Utara (PILGUBSU), dan sampai hari hiruk pikuk kegiatan yang mengarah kepada Pilgubsu tersebut telah sangat terasa, terutamakemeriahan  gerakan-gerakan politik untuk memunculkan pigur-pigur atau bakal calon gubernur yang akan  ikut dalam kompetisi pemilihan gubernur tersebut, aktivitas tersebut merupakan kebiasan yang memang seriing terjadi setiap kali akan berlangsung pemilihan kepala daerah dan merupakan sebuah pemandangan yang lajim dan bukan merupakan sebuah pemandangan yang asik bagi masyarakat Sumatera Utara.
Namun perkembangan yang sangat menarik ditengah-tengah perbincangan masyarakat Sumatera Utara menanggapi akan berlangsungnya pemilihan gubernur Sumatera Utara adalah fenomena pigur Joko Widodo walikota Solo yang berhasil unggul pada putaran pertama pemilihan gubernur Jakarta, pigur Joko Widodo tiba-tiba menjadi buah bibir bagi masyarakat Sumatera Utara dan menjadi sebuah pigur yang diharapkan akan muncul juga dalam proses pemilihan Gubernur Sumatera Utara yang akan datang.
Sebuah fenomena menarik dan sangat hangat diperbincangkan saat ini, oleh karena itu muncul sebuah pertanyaan yang menantang, yaitu mungkinkah fenomena pemilihan gubernur Jakarta akan terjadi di Sumatera Utara ? Khususnya memunculkan seorang calon pemimpin yang dianggap sesuai dengan harapan baru masyarakat, dengan kata lain adakah peluang terbuka untuk memunculkan calon pemimpin alternatif baru dalam pemilihan Gubernur Sumatera Utara ?