Hasil survey Litbang Kompas yang diselenggarakan secara nasional untuk menjajaki aspirasi munculnya pemimpin nasional 2014, menunjukkan popularitas Joko Widodo (Jokowi) melesat dibandingkan dengan sosok lainnya. Hasil dua survei opini publik yang dilakukan secara berkala (longitudinal survey) terhadap 1.400 responden, calon pemilih dalam Pemilu 2014, yang terpilih secara acak di 33 provinsi, menunjukkan semakin besar proporsi calon pemilih yang jelas menyatakan pilihannya terhadap sosok pemimpin nasional yang mereka kehendaki. Sebaliknya, semakin kecil proporsi calon pemilih yang belum menyatakan pilihan dan semakin kecil pula proporsi calon pemilih yang enggan menjawab siapa sosok calon presiden pilihan mereka.
Melesatnya popularitas Jokowi dibandingkan dengan sosok lainnya, menurut kesimpulan Litbang Kompas mengindikasikan semakin menguatnya tuntutan masyarakat terhadap kehadiran generasi kepemimpinan politik nasional baru yang tidak bersifat artifisial. Hasil survey ini semakin mempertegas sosok Jokowi sebagai pigur pemimpin idaman masyarakat, popular dan memiliki elektabilitas tinggi yang ditunjukkan hasil survey menempatkan Jokowi memperoleh tingkat keterpilihan mencapai 32,5 persen. Salah satu kesimpulan menarik untuk diperbincangkan dari publikasi ini istilah “artifisial” yang dipergunakan, karena membuka ruang untuk diperdebatkan.
Ketua Umum DPP Partai Hanura, Wiranto, dalam acara seminar bertema “Mengupas Persoalan Bangsa, Diskursus Melalui Pendekatan Kepemimpinan” di gedung DPR, Senayan, Jakarta, mengatakan, kepemimpinan yang dicitrakan oleh pemerintahan SBY selama ini lebih sekedar artifisial. Kelihatannya baik hanya kulitnya tapi ternyata dalamnya kacau dan buruk, mengatakan kompleksitas problematika negara Indonesia tertumpu pada persoalan kepemimpinan. Selain itu, Wiranto menyoroti ketidakefektifan roda pemerintahan yang amburadul dan paradok karena banyak sekali pranata-pranata yang dibentuk, namun tidak diaplikasikan dengan baik, dan banyak pranata hukum yang dilanggar pemimpin.
Namun penilaian Wiranto ini dianggap tidak mendasar dan tanpa landasan teori oleh Farhan Efendi, Ketua Benteng Kedaulatan, karena tidak ada istilah artifisial dalam model-model kepemimpinan dalam teori leadership. Pernyataan Wiranto dinilai bersifat politis dan tidak objektif. Menurut Farhan, pola kepemimpinan yang dikembangkan SBY selama ini lebih mengedepankan sikap-sikap persuasive, dan berdasar pada attitute sebagai seorang pengayom.
Kemudian Farhanmemberi contoh, bahwa di tengah himpitan dan cercaan yang menjurus pada pembunuhan karakter terhadap SBY, justru SBY masih memberi toleransi dan sadar benar akan harga sebuah proses demokrasi yang harus beliau kawal. Itu tercermin dari sikapnya yang meski paham hujatan menjurus ke masalah pribadi, sifat kenegarawanan beliau terlihat untuk tidak langsung memberangus mereka yang menyerang. Justru beliau menghargai karena menjadi sebuah bagian dari proses demokrasi.
Pengertian istilah artifisial atau Sinonim dari kata artifisial, umumnya disebut sebagai tidak alami atau buatan.Dalam dunia teknologi kata ini sering dipergunakan sehingga muncul istilah “Artificial intelligence” atau kecerdasan buatan. Pemikiran tentang artificial intelligence berawal dari sebuah filosofi bahwa kecerdasan manusia dapat diterapkan dalam teknologi, yaitu manusia mampu membuat teknologi yang memiliki kecerdasan hampir sama denagn manusia bahkan adakalanya lebih canggih dari kemampuan manusia, misalnya penemuan kalkulator, computer dan robotika yang memiliki kecepatan dan keakuratan lebih tepat daripada perhitungan manual manusia.
Menurut Avron Barr dan Edward E. Feigenbaum, Artificial Intellegence merupakan bagian dari ilmu computer untuk mempelajari dan merancang sistem komputer yang berintelegensi, yaitu sistem yang memiliki karakteristik berpikir seperti manusia. Kecerdasan diciptakan dan dimasukkan ke dalam suatu mesin (komputer) agar dapat melakukan pekerjaan seperti yang dapat dilakukan manusia. Dengan kata lain, kecerdasan buatanini merupakan sebuah studi tentang bagaimana membuat komputer melakukan hal-hal yang dapat dilakukan oleh manusia. Pengetahuan ini lebih banyak menggunakan bentuk simbol-simbol daripada bilangan, dan memproses informasi berdasarkan metode heuristic atau dengan berdasarkan sejumlah aturan.
Walaupun perkembangan teknologi artificial intelligence dapat menggantikan posisi manusia, tetapi tetap saja memiliki kekurangan dan keterbatasan, karena teknologi artificial intelegensi tidak memiliki common sense yang hanya dapat dimiliki oleh manusia, dan kecerdasan yang ada pada artificial intelligence terbatas pada apa yang diberikan, atau terbatas pada program yang diberikan, serta tidak dapat mengolah informasi yang tidak ada dalam sistemnya.
Pada essensinya manusia itu multidimensional, sehingga manusia tidak dapat di patok dalam satu defenisi saja, selain sebagai homo sapiens, yaitumanusia sebagai makhluk yang mempunyai kemampuan untuk mendapatkan ilmu pengetahuan, atau untuk mengetahui segala sesuatu disekelilingnya yang ia ketahui, manusia juga memiliki emotional quotient (kecerdasan emosi), yaitu mampu menyadari dan mengelola emosi diri sendiri, memiliki kepekaan terhadap emosi orang lain, mampu merespon dan bernegosiasi dengan orang lain secara emosional, serta dapat menggunakan emosi sebagai alat untuk memotivasi diri.
Salah satu keterampilan kepemimpinan yang diperoleh dari memiliki kecerdasan emosi ini adalah kepemimpinan berempati, yaitu kepemimpinan yang mampu memproyeksikan dirinya kedalam perasaan yang sedang di alami orang lain, sehingga mampu memahami apa yang sedang terjadi pada diri orang lain dan mampu memberikan sesuatu yang sesuai dengan kebutuhan orang lain.
Jokowi dalam konteks ini, khususnya dengan kemunculannya sebagai Gubernur Jakarta, serta trend yang sedang terjadi menempatkan dirinya sebagai salah seorang pigur calon Presiden alternatif mendapat elektabilitas tertinggi menurut berbagai hasil survey, tidak dapat dilepaskan dari kemampuan yang dimilikinya untuk bisa memahami perasaan public dewasa ini, dan bertindak dalam kepemimpinannya sesuai dengan apa yang diidam-idamkan oleh masyarakat. Tindakan dan kebijakannya baik ketika masih menjabat Walikota Solo dan saat menjabat Gubernur Jakarta saat ini berorientasi kepada pemenuhan keinginan masyarakat umumnya, gaya komunikasi dan berbicara apa adanya, sederhana dan mampu menggugah perasaan rakyat, bukan merupakan tindakan yang dibuat-buat seperti istilah yang lajim saat ini disebut dengan politik “Pencitraan”.
Apa yang di-istilah-kan oleh Wiranto dengan kata “artifisial” merupakan salah satu diantara produk turunan politik pencitraan tersebut, dan merupakan fenomena yang lajim dilakukan dalam dunia politik dengan mengandalkan prinsif-prinsif ilmu marketing dalam meningkatkan awareness building atau kesadaran akan merek atau nama seseorang secara positif. Dalam dunia politik hak ini sudah lajim dipergunakan untuk mempertahankan citra dan meningkatkan tingkat elektabilitas.
Joko Widodo dalam perjalanan karir politiknya muncul sebagai pigur yang dianggap mampu mewakili keinginan atau harapan mansyarakat dewasa ini, yaitu seorang pemimpin yang mampu memahami perasaan masyarakat serta mampu memberikan sesuatu yang benar-benar dibutuhkan masyarakat (ber-empathi) sehingga memperoleh elektabilitas tinggi, serta salah satu calon pemimpin atau Presiden Indonesia mendapatkan dukungan besar dari sebagian besar eksponen bangsa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H