Ratu Wulla, lewat pemilu sistem proporsional terbuka, berhasil memperoleh suara terbanyak di internal partainya. Maka dia berhak mewakili partainya dan konstituennya duduk sebagai anggota DPR RI.
Namun, dengan pengunduran diri, Ratu Wulla meniadakan arti penting pilihan rakyat, lebih utamakan memuluskan jalan rekan se-partai, Viktor Laiskodat sebagai anggota DPR RI.
Viktor Bungtilu Laiskodat, Mantan Gubernur Nusa Tenggara Timur, memperoleh 65.357 suara, kalah terpaut 10.972 suara dibandingkan Ratu Wulla memperoleh 76.331 suara di daerah pemilihan (Dapil) 2 NTT.
Pengunduran diri Ratu Wulla mengagetkan banyak kalangan, dan mengecewakan masyarakat NTT, khususnya masyarakat Sumba Barat Daya.
Selain menimbulkan kontroversi, pengunduran diri Ratu Wulla ditenggarai bermuatan kepentingan personal, dan hanya sebagai alibi memuluskan langkah Viktor Laiskodat.
Selain untuk kepentingan pribadi Viktor Laiskodat, tentu tidak bisa diabaikan ada kemungkinan kepentingan tersembunyi elit Partai Nasdem.
Fenomena ini sebagai indikator Partai Politik, khususnya Partai Nasdem dalam hal ini, sebenarnya tidak siap dengan sistem pemilu proporsional terbuka.
Sistem proporsional terbuka secara penampilan demokrasi, terlihat sangat demokratis, tetapi tak ubahnya bagaikan pisau bermata dua. Indah terlihat sangat demokratis tetapi disisi lain bisa membunuh kader favorit dukungan partai politik, termasuk tokoh penting partai politik.
Oleh karena itu, untuk menyelamatkan tokoh penting partai, terutama "anak emas" partai adakalanya dilakukan dengan berbagai cara. Secara halus lewat cara negoisiasi meminta seseorang mundur dengan memberi kompensasi.
Cara demikian tentu mereduksi sistem pemilu proporsional terbuka, dan merupakan residu atau ampas menimbulkan kontaminasi demokrasi yang disepakati mempergunakan sistem proporsional terbuka.
Suka tidak suka, sistem proporsional terbuka menimbulkan tegangan tinggi kompetisi internal partai, saling menjatuhkan bagi sesama kader partai, bahkan adakalanya menyebabkan petinggi partai kalah telak di Pileg.