Mohon tunggu...
Daud Ginting
Daud Ginting Mohon Tunggu... Freelancer - Wiraswasta

"Menyelusuri ruang-ruang keheningan mencari makna untuk merangkai kata-kata dalam atmosfir berpikir merdeka !!!"

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Apa Salahnya Artis Jadi Anggota DPR di Era Demokrasi Liberal Saat Ini?

3 Maret 2024   17:01 Diperbarui: 5 Maret 2024   11:46 241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kadang muncul rasa geli, dan ingin rasanya tersenyum sendiri saat melihat banyaknya kritik maupun tanggapan terhadap kecenderungan semakin banyak jumlah artis top berhasil memperoleh kursi di DPR RI maupun DPRD.

Lucunya, kritik bernada miring itu bagaikan vonis palu hakim menuduh para artis itu tidak memiliki kapabilitas dan kualitas sebagai legislator nantinya.

Sehingga muncul pertanyaan menggelitik, "Apakah tepat kita mempertanyakan kualitas anggota parlemen di tengah sistem pemilu proporsional terbuka yang sangat liberal saat ini ?" 

Ini sebuah pertanyaan sederhana, namun butuh permenungan mendalam untuk menjawabnya. 

Karena pada esensinya, demokratisasi kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia saat ini sesungguhnya tengah berjalan ke arah liberalisasi demokrasi, yaitu memberikan kebebasan kepada siapa saja untuk bisa mendirikan partai politik dan memberi keleluasan super terbuka bagi siapapun untuk berpartisipasi dalam politik, baik sebagai anggota, kader, pengurus partai maupun calon anggota legislatif.

Dengan demikian siapapun bisa aktif di gelanggang politik tanpa memperhitungkan latar belakang maupun profesi seseorang, apakah dia pemulung, tukang parkir, pengusaha maupun pejabat pemerintah memiliki hak yang sama untuk jadi calon legislatif.

Itulah arti sesungguhnya liberalisasi demokrasi, memberikan kesempatan dan peluang yang sama bagi semua orang, dan memungkinkan setiap lapisan masyarakat terwakili di parlemen. Namanya juga Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), berarti semua kelompok atau golongan masyarakat semestinya memiliki perwakilan di parlemen.

Parlemen, khususnya DPR itu merupakan lembaga perwakilan rakyat yang diharapkan mampu sebagai sarana artikulasi dan agregasi kepentingan masyarakat, khususnya kelompok atau golongan yang diwakili oleh anggota DPR tersebut. Apabila seorang artis top duduk sebagai anggota DPRD maka dia akan memperjuangkan kepentingan golongan artis di parlemen.

Dengan demikian justru semua golongan maupun kelompok profesi yang ada di masyarakat memiliki perwakilan di parlemen, misalnya anggota parlemen perwakilan ART (Asisten Rumah Tangga) atau Pembantu, Driver Ojol, Guru Honor, Guru Spritual dan lain sebagainya, agar masing-masing diantara mereka bisa memperjuangkan aspirasi golongan dan konstituen yang memilihnya.

Kekhawatiran terhadap minimnya kualitas personal anggota dewan, khususnya kualitas artis di bidang politik maupun tugas buddgeting, pengawasan, dan pembuatan undang-undang di parlemen, itu bukan salah arti itu sendiri. 

Tetapi itu kesalahan besar partai politik yang lengah membidani kelahiran artis sebagai anggota parlemen berkualitas. Atau memang partai politik dewasa ini tidak mempedulikan kualitas calon anggota legislatif hanya karena mengutamakan perolehan suara berdasarkam popularitas dan isi tas (uang).

Sumber : Demokrasi.co.id
Sumber : Demokrasi.co.id

Konon lagi banyak partai politik saat ini hanya sibuk dan beraktivitas saat menjelang pemilu. Tidak pernah melakukan konsolidasi, kaderisasi, dan melakukan manajemen organisasi partai apa adanya saja, lalu menjelang pemilu baru sibuk bangun dari tidur panjang.

Artinya partai politik hanya dipandang sebagai sarana atau perahu tumpangan, bahkan rentalan di saat pemilu, tidak memiliki ideologi maupun garis besar perjuangan partai. 

Ironisnya banyak partai politik saat ini tidak ubahnya bagaikan sebuah "korporasi" yaitu miliknya pendiri atau pemegang saham. Tidak pernah melakukan rapat kerja, apalagi rapat kerja nasional maupun kongres atau munas.

Di tengah pengelolaan dan manajemen partai yang buruk tersebut maka terlalu berlebihan jika mengharapkan muncul calon anggota DPR yang berkualitas dari partai yang demikian itu. 

Oleh karena itu, jika ingin bicara tentang memperbaiki kualitas anggota DPR maka yang terlebih dahulu yang perlu dilakukan adalah memperbaiki sistem kepartaian, terutama oleh elit penguasa partai politik itu sendiri.

Berdasarkan penelitian para ahli politik, di Indonesia sampai saat ini sangat kecil jumlah partai politik yang sudah mampu mencapai level partai politik berkualitas jika diukur dari faktor "Institusionalisasi atau Pelembagaan Partai Politik".

Ramlan Surbakti, dosen Universitas Airlangga, memberikan pengertian pelembagaan partai politik sebagai proses pemantapan partai politik, baik dalam wujud perilaku yang memola, maupun dalam sikap dan budaya.

Perilaku partai politik yang memola menurut Ramlan Surbakti diukur mempergunakan variabel- variabel sebagai berikut:

  • Dimensi derajat kesisteman
  • Derajat identitas nilai
  • Dimensi otonomi partai politik dalam pembuatan keputusan
  • Derajat pengetahuan dan citra publik terhadap suatu partai politik

Partai politik akan memasuki fase proses pemantapan pelembagaan partai politik bila sudah mencapai keempat dimensi tersebut. sehingga partai politik tersebut memiliki perilaku, sikap dan budaya yang memola atau ajeg.

Dalam kondisi partai politik sudah melembaga, maka partai politik akan berfungsi sebagai aktor kunci menentukan akses kekuasaan dan pemilihan, serta akan mampu mengartikulasikan dan mengagregasi kepentingan internal maupun eksternal partai.

Sampai hari, menurut Ramlan Surbakti, kelemahan utama partai politik di Indonesia adalah rendahnya derajat kesisteman partai politik, lemahnya bangunan ideologi partai, dan minimnya pengetahuan publik terhadap partai politik.

Oleh karena itu pelembagaan partai politik di Indonesia jadi tugas yang mendesak untuk dilakukan dalam kerangka konsolidasi demokrasi, dan meningkatkan kualitas berdemokrasi, terutama untuk meningkatkan kualitas kader maupun anggota legislatif yang diusung oleh partai politik.

Jika ingin meningkatkan kualitas anggota legislatif, terutama untuk menjawab kekuatiran terhadap kualitas para artis yang menjadi anggota legislatif, maka jangan buru-buru mendeskreditkan para artis, tetapi salahkan partai politik yang tidak mampu melahirkan kader yang berkualitas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun