Stereotipe seperti ini yang masih kental mewarnai persepsi publik justru semestinya dijadikan sebagai rambu menjaga perilaku para keluarga pegawai negeri untuk tidak suka pamer kekayaan karena sangat sensitif menimbulkan persepsi buruk.
Hilangnya rasa sensitivitas itulah sesungguhnya sumber malapetaka, oleh karena itu dibutuhkan kemampuan dan kerelaan mendengarkan bisikan suara hati sebagai sumber utama kepedulian sosial bagi orang yang suka memamerkan kekayaan yang tidak layak di pertontonkan.
Beda halnya dengan publik pigur atau artis, flexing atau memamerkan kekayaan dan kehidupan glamour memang merupakan kebutuhan tuntutan profesi, dan sangat penting dilakukan untuk self promotional, atau untuk mempromosikan diri sebagai selebritis.
Publik pigur seperti artis flexing bukan hanya kebutuhan lagi tetapi sudah merupakan keharusan untuk sarana meningkatkan pamor dan popularitasnya.
Lalu, keluarga dan anak pejabat pegawai negeri untuk kepentingan dan kebutuhan apa melakukan flexing ?
Apakah untuk gagah-gagahan saja ? Atau sebagai bentuk mempertontonkan kesombongan diri ?, serta mengundang rasa kecemburuan sosial ?
Ironisnya, memberikan fasilitas super mewah sebagai sarana flexing bagi anak-anak tidak disadari oleh orang tua bahwa hal itu sebagai racun merusak mentalitas anak. Tindakan demikian seakan membenarkan sikap hidup "glamour" dan pamer kekayaan merupakan gaya hidup yang baik bagi seorang anak yang masih dalam proses mencari jati diri.
Proses pendidikan yang salah dari lingkungan internal seperti inilah yang sering merusak mental anak-anak pejabat yang kemudian menjadikan anak mereka arogan, sombong dan menganggap orang lain kecil di depan matanya.
Tetapi tanpa disadari pemberian pasilitas serba mewah seperti  justru membunuh kemampuan anak untuk berjuang sendiri secara gigih mencapai cita-citanya.Â
Hilangnya kemampuan daya juang dan kemandirian anak karena sudah terbiasa memperoleh fasilitas serba lengkap.
Oleh karena itu salah satu cara efektif untuk mengurangi sikap flexing atau memamerkan kekayaan adalah memperbaiki proses pendidikan di lingkungan internal keluarga sebagai sumber utama pendidikan dan pembelajaran mental anak.