Perdebatan diantara petinggi tersebut tidak menyelesaikan substansi persoalan sesungguhnya yang tersembunyi rapi dibawah permukaan, yaitu kelakuan mafia beras dan oligopoli sistem pasar beras.
Hal itu sudah dibuktikan oleh Bulog dan Kapolda Banten dengan menangkap barang bukti serta beberapa orang pelaku.
Penangkapan pelaku mafia beras ini jadi batu ujian keseriusan bagi Kementerian Perdagangan dan Kementerian Pertanian dalam hal mengatasi persoalan sesungguhnya yang menyelimuti kegaduhan distribusi dan harga beras selama ini.
Dalam bahasa sederhana, baru saja ditemukan tikus-tikus di lumbung beras kita. Lalu apa gerangan tindakan pamungkas yang hendak dilakukan para stakeholder dunia perberasan nasional ?
Apakah penangkapan oknum-oknum pelaku mafia beras itu sudah cukup dijadikan sebagai tumbal saja tanpa ada upaya memperbaiki sistem yang efektif menghindari terulang kembali tindakan para mafia beras mencari keuntungan diatas jeritan tangis dan penderitaan rakyat.
Bila Kementerian tidak menunjukkan bukti nyata mengeluarkan kebijakan memberangus mafia beras maka kekuatiran dan kecurigaan publik selama ini yang menduga para petinggi di kementerian itu turut kecipratan untung dari para mafia beras akan dianggap mempunyai kebenaran.
Dalam alam pemikiran awam, leluasanya para mafia beras memperoleh akses terhadap beras Bulog, dan bebasnya mereka menancapkan pengaruhnya terhadap harga beras serta pendistribusiannya diyakini tidak mungkin terjadi jika tidak ada kolusi atau kerjasama tersembunyi dengan kekuatan politis tertentu.
Publik menduga memang terjadi bentuk kerjasama simbiosis mutualisme diantara semua pemangku kepentingan, antara institusi pemerintah dengan oknum-oknum pelaku mafia beras.
Selama bentuk kerjasama seperti ini belum bisa diatasi dengan tuntas maka kemelut dan polemik yang menyelimuti dunia perberasan Indonesia tidak akan pernah tuntas. Bahkan disinyalir keadaan seperti itu memang sengaja dibiarkan dan dilestarikan karena memberi keuntungan sangat menggiurkan kepada banyak kalangan.
Dengan ditemukannya dan ditangkapnya para mafia tanah jadi salah satu bukti bahwa carut marut tata kelola perberasan nasional bukan hanya faktor asimetris informasi dan data yang diberikan Kementerian Pertanian maupun Kementerian Perdagangan dan BPS.
Tata kelola perberasan nasional bukan hanya ditandai oleh tanah air Indonesia terkenal subur sehingga menjadi salah satu penghasilan beras terbesar ketiga di dunia, -swasembada tapi tetap lakukan impor-, tetapi tata kelola beras kita ternyata sebagai lahan subur juga bagi oligarki pemburu rente.