Masih sering mengemuka pemikiran mempertanyakan relevansi dan aktualisasi Pancasila, khususnya di era reformasi dewasa ini. Lewat reformasi gelombang proses globalisasi menyusup ke jantung kerangka berpikir dan opini umumnya masyarakat Indonesia, yang secara inplisit membawa serta nilai-nilai dari negeri barat, baik sistem demokratisasi dan dan hak azasi manusia yang dianggap sebagai nilai-nilai universal yang harus dianut dan diaktualisasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Globalisasi sebagai anak kandung yang lahir dari rahim westernisasi telah meminggirkan Pancasila. Pancasila sebagai warisan luhur  dan "common flatform" para the founding father semakin tersisihkan, bagaikan hanyut diterjang gelombang reformasi dan globalisasi. Hal ini terlihat dengan kasat mata lewat perlakuan Pancasila hilang dari institusi pendidikan dan diskursus para elite politik di awal lahirnya era reformasi
Fenomena itu merupakan alasan utama perlunya upaya memperkokoh eksistensi Pancasila sebagai dasar negara bangsa Indonesia lewat jalan memahami kembali Pancasila sebagai konsensus dasar berdirinya negara Indonesia, sebagai dasar negara yang berfungsi mengatur perilaku negara, dan mengaktualisasikan Pancasila sebagai cita-cita moral, serta kedudukannya dalam sistem hukum.
Salah satu kerangka berpikir yang diperlukan untuk mengangkat kembali eksistensi Pancasila adalah menegaskan kembali keberadaan Pancasila sebagai seperangkat keyakinan yang berorientasi pada tindakan (an action oriented set of beliefs). Sehingga Pancasia tidak cukup dijadikan sekedar narasi, dibacakan serta diucapkan untuk kepentingan tata acara upacara, dan hanya dijadikan sebagai jargon politik.
Pancasila sebagai seperangkat keyakinan atau Ideologi harus bermuara kepada tindakan atau implementasi, serta sebagai perspektif penyelesaian berbagai masalah yang dihadapi bangsa dan negara, terutama sebagai pisau analisa menghadapi trend globalisasi yang rentan mengikis nilai-nilai nasionalisme serta rasa cinta terhadap tanah air.
Implementasi Pancasila sering menghadapi masalah krusial karena persepsi yang salah menganggap Pancasila hanya sebagai kaidah moral individual, dan mempersepsikan wujud nyata sebagai Negara Pancasila tercermin dari kemampuan masyarakat menghafal teks Pancasila, dan mengamalkannya sebagai petunjuk moralitas inividu.Â
Distorsi atau penyimpangan makna yang terkandung dalam Pancasila terjadi karena adanya warisan kesalahan orde baru men dasajadikan ukuran seseorang dianggap Pancasilais adalah telah mengikuti penataran Pancasila, serta perilaku dan tindakan masyarakat tidak bertentangan dengan kebijakan pemerintah.
Penataran Pancasila yang dikenal dengan istilah P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) dimasa orde baru dilaksanakan sebagai upaya indoktrinasi terhadap masyarakat, serta menjadikan masyarakat sebagai objek paling utama menghayatai dan mengamalkan Pancasila.Â
Masyarakat yang berperilaku tidak sesuai dengan keinginan pemerintah akan dituduh tidak Pancasilais, sehingga Pancasila dijadikan alat menertibkan masyarakat, bahkan dijadikan sebagai alat represif terhadap lawan politik pemerintah. Pancasila hanya jadi alat ukur mengawasi ketaatan masyarakat terhadap pemerintah, padahal idealnya Pancasila dijadikan sebagai prinsip-prinsip dasar, dan kaidah fundamental yang harus dilaksanakan oleh pemerintah dalam pembuatan dan pelaksanaan peraturan perundang-undangan negara.
Pancasila adalah dasar negara (philosofische grondslag), dan kaidah fundamental negara (staatsfundamentalnorm), berfungsi untuk mengatur perilaku negara dalam pembuatan dan pelaksanaan regulasi,konstitusi dan undang-undang. Pancasila bukan dipergunakan hanya sebagai kaidah moral individu, tetapi diimplementasikan dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan.