Mayoritas Partai Politik yang memiliki kursi di parlemen menolak kemungkinan kembali ke sistem pemilu proporsional tertutup merupakan salah satu petunjuk umumnya partai politik belum mampu mewujudkan pelembagaan atau institusionalisasi partai politik, dan indikator partai politik di era reformasi sesungguhnya belum dikelola sebagai partai modern.
Derajat pelembagaan partai politik menurut Yves Meny dan Andrew Knapp (1998) terdiri dari tiga parameter, yaitu usia, depersonalisasi organisasi dan differensiasi organisasi.
Pelembagaan partai umunya dilakukan melalui penguatan 4 komponen, yaitu pengakaran partai (party rooting), legitimasi partai (party legitimacy), aturan dan regulasi (rule and regulation) dan daya saing (competitiveness).
Partai politik yang telah dikelola secara modern dan profesionalitas akan menjadi party rooting, yaitu partai tersebut akan terikat secara organik dengan konstituen atau masyarakat, dan partai itu secara kontinyu menjalankan fungsi-fungsi yang berkaitan langsung dengan masyarakat seperti pendidikan politik, sosialisasi atau komunikasi politik, dan yang terpenting partai politik mampu sebagai agregasi kepentingan masyarakat.
Pelembagaan partai politik menjadi salah satu petunjuk tingginya kepercayaan publik terhadap partai politik dan menjadikan partai politik sebagai pilar utama demokrasi, oleh karena itu pelembagaan partai merupakan salah satu agenda penting dalam meningkatkan kualitas demokrasi.
Secara institusional, khususnya peraturan pemilihan umum, partai politik memiliki fungsi sebagai peserta pemilihan umum, artinya partai politik sebagai instrumen yang akan dipilih sebagai institusi untuk menampung dan memperjuangkan aspirasi masyarakat. Maka Partai Politik harus menjadi garda terdepan dalam kehidupan berdemokrasi baik untuk menentukan kebijakan pemerintah maupun untuk menyalurkan aspirasi masyarakat.
Sistem pemilihan umum proporsional terbuka yang diterapkan dalam beberapa kali pemilu terakhir secara kasat mata memang berhasil memberi kebebasan kepada masyarakat untuk memilih pigur anggota legislatif yang sesuai dengan pilihannya sehingga dianggap sangat demokratis karena masyarakat dianggap memperoleh kebebasan dan langsung memilih pigur tertentu.
Tetapi sistem pemilihan umum proporsional terbuka ini ternyata menjerumuskan pelaksanaan pemilihan umum jadi sangat liberal dan sarat praktek transaksional atau money politics sehingga mendegradasi peran dan fungsi sesungguhnya partai politik. Karena dalam pemilihan umum proporsional terbuka bukan platform, ide atau ideologi partai politik sebagai pertimbangan utama dalam menentukan keterpilihan partai politik tetapi berdasarkan pertimbangan pigur.
Ironisnya, memilih pigur calon anggota legislatif juga bukan karena faktor pertimbangan kualitas atau visi misi si calon tetapi karena adanya proses transaksional berbentuk money politics. Oleh karena itu anggota legislatif yang terpilih adalah pigur yang memiliki uang banyak tanpa memperhitungkan kemampuan dan ideologi calon legislatif.
Fenomena ini menjadikan partai politik mengalami pengurangan arti dan fungsi, karena anggota legislatif terpilih berpikir dirinya duduk sebagai anggota dewan bukan melulu karena faktor partai politik, tetapi berpikir keberhasilannya jadi anggota dewan karena kemampuan dirinya sendiri, berdasarkan kekuatan potensi uang yang dimilikinya, sehingga loyalitas terhadap partai politik sangat minim dan tidak memiliki rasa tanggungjawab untuk mengaktualisasikan platform atau ideologi partai.