Setelah Partai Nasdem mendeklarasikan Anies Baswedan sebagai bakal calon presiden besutannya, direncanakan pada tanggal 10 November 2022 akan dilanjutkan deklarasi bersama partai koalisi. Â Tetapi deklarasi bersama itu ternyata tidak jadi.
Kegagalan deklarasi Anies Baswedan oleh Partai Nasdem dengan PKS dan Partai Demokrat menjadi sebuah indikator bahwa sebenarnya tidak mudah merajut koalisi bagi partai politik untuk mengusung bakal calon presiden karena masing-masing partai sesungguhnya sarat dengan kepentingan internal partai politik itu sendiri.
Sejak awal juga pendeklarasian yang dilakukan partai Nasdem sebenarnya menimbulkan banyak tanda tanya bagi publik, kenapa begitu percaya diri Partai Nasdem melakukan deklarasi sementara partai Nasdem sendiri tidak memenuhi persyaratan untuk mencalonkan Bakal Calon Capres jika hanya mengandalkan partainya sendiri.
Jika memang benar sudah ada komitmen baku untuk berkoalisi dengan Partai Demokrat dan PKS, apakah layak Partai Nasdem melakukan deklarasi terlebih dahulu ? Â Bukan kah langkah partai Nasdem seakan menjadikan dirinya bagaikan pusat "decesion maker" ?Â
Jika dilihat dari latar belakang masing-masing ketiga partai yang berencana berkoalisi itu, justru perolehan suara Partai Nasdem pada pemilu 2019 berada dibawah perolehan suara PKS dan Demokrat, namun dalam proses menuju finalisasi koalisi ketiganya tak ubahnya Partai Demokrat dan PKS seakan ikut arus keputusan politik yang dilakukan Partai Nasdem.
Bahkan Agus Harimurti Yudhoyono Ketua Umum Partai Demokrat untuk bicara kelanjutan koalisi dan membicarakan pasangan calon wakil Anies Baswedan justru datang menghadap Ketua Umum Nasdem Surya Paloh dan kemudian menghadap Anies Baswedan. Tanpa disadari secara kasat mata peristiwa ini menunjukkan bahwa saat itu tidak dapat dipungkiri bahwa Partai Nasdem sudah berhasil sebagai partai yang memiliki peran lebih tinggi dibandingkan partai mitra koalisinya.
Inilah salah satu keunggulan strategi permainan Surya Paloh sebagai Ketua Umum Partai Nasdem yang berhasil menjadikan partai dan dirinya sebagai pusat pusaran permainan selanjutnya. Mesti kita akui dalam hal ini Surya Paloh berhasil sebagai "decesion maker" ulung. Dengan kata lain Surya Paloh sudah berhasil maju selangkah  dibandingkan kedua partai lain, bahkan seakan meninggalkan Susilo Bambang Yudhoyono yang sebelumnya mengumumkan dirinya akan turun gunung bersama Partai Demokrat bertarung di 2024.
Sedangkan PKS sebagai mitra koalisi yang digadang-gadang sudah sepakat berkoalisi nampak gerakannya justru lebih santai dan elegan, tidak mempertontonkan diri sebagai partai yang memiliki keinginan terlalu ambisius. Padahal dapat diduga bahwa PKS dalam merajut koalisi tidak lah gampangan mengikuti begitu saja keinginan mitra koalisinya tanpa memperhitungkan timbal balik yang diperoleh PKS jika memutuskan suatu koalisi.
PKS sebagai partai yang telah memiliki jam terbang tinggi dan terkenal memiliki manajemen partai yang lumayan bagus sudah barang tentu mempunyai standard khusus yang harus dipenuhi mitra koalisinya, dan PKS juga diyakini akan melakukan perhitungan lebih jelimet tentang untung rugi yang diperoleh dari koalisi itu.
Maka diprediksi PKS akan memiliki nilai tawar lebih tinggi dalam mencapai kesepakatan yang akan diputuskan, karena tidak dapat dipungkiri bahwa PKS memiliki posisi sangat strategis dalam proses mencapai kesepakatan itu. Bahkan PKS Â memiliki peluang lebih leluasa menentukan sikap apakah melanjutkan koalisi ini atau mencari koalisi yang lain. Itulah nilai lebih PKS dibandingkan kedua partai lain.
PKS berhasil memiliki nilai tawar lebih diperhitungkan karena memang PKS dalam proses pencapaian kesepakatan koalisi mampu menempatkan posisinya sebagai partai yang mesti diperhitungkan baik sebagai partai yang memiliki basis pemilih yang loyal, maupun partai yang memiliki kader dan pengurus yang memiliki mutu dan kualitas yang tidak bisa disepelekan.