Mohon tunggu...
Daud Ginting
Daud Ginting Mohon Tunggu... Freelancer - Wiraswasta

"Menyelusuri ruang-ruang keheningan mencari makna untuk merangkai kata-kata dalam atmosfir berpikir merdeka !!!"

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pilkada, Mencari yang Dicari

26 September 2016   04:21 Diperbarui: 26 September 2016   06:39 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Percaya atau tidak, disuatu daerah suatu ketika ada yang bertanya kepada salah seorang pigur bakal calon bupati, "Apa yang mau bapak cari sehingga berniat mencalonkan diri menjadi seorang bupati ?". Dengan bahasa sederhana dan lugas sang calon bupati berkata " Aku ingin didadaku disematkan jengkol (emblem), dan naik mobil dinas nomor polisi warna merah angka tunggal serta kemana-mana dikawal forider (Vooridjer)". 

Suka tidak suka cerita diatas bukan karangan belaka tanpa realita, itu kenyataan yang pernah terjadi. Sehingga muncul pertanyaan, apakah tanggapan yang muncul dari dalam benak kita saat mendengar ini ?  Apa tidak percaya !!! Merasa lucu kah ? Atau mengumpat dan merasa mual dan muak mendengarnya ? Apapun jawaban yang muncul sah-sah saja, itulah enaknya sebagai manusia setiap orang bebas dan leluasa memberi jawaban karena semestinya kita tidak bisa memonopoli kebenaran karena hal itu sama halnya kita menjadi komplotan kaum fundamentalis atau merasa menjadi orang paling benar.

Apalagi berkaitan dengan proses pemilihan kepala daerah yang merupakan salah satu bentuk aktualisasi atmosfir kehidupan demokratis maka setiap orang bebas mengemukakan pendapatnya, tidak mesti memaksakan pendapat atau paham yang kita anut kepada orang lain. Sederhananya itulah indahnya demokrasi, ada ruang kebebasan, sehingga apapun niat seseorang berambisi menjadi kepala daerah tidak bisa kita larang apalagi kita paksa harus sesuai dengan kerangka berpikir kita. Salah satu yang bisa kita lakukan kalau memang kita ikut dan terdaftar sebagai masyarakat pemilih di Pilkada lakukan hak pilih dengan cara tidak memilihnya tanpa mencaci makinya.

Kembali kepada cerita tentang motivasi calon bupati yang diatas, jawaban yang dikemukakannya itu baginya sendiri punya alasan yang kuat juga. Latar belakangnya sebagai salah seorang pengusaha sukses, unit usahanya telah banyak berarti dia sudah berprestasi sukses sebagai pemimpin, hartanya sudah relatif melimpah, penghormatan atau penghargaan untuk bukti prestasinya sebenarnya sudah diperolehnya. Namun dia berpikir kehormatan itu lebih sempurna lagi jika dapat diperolehnya dari ranah masyarakat umum dengan menjadi pejabat publik.

Munculnya kebutuhan seperti itu juga tidak bisa dicibir atau di vonis salah, karena kembali kepada keunikan manusia dibandingkan primata lain sebagai makhluk ciftaan Allah, kebutuhan manusia itu memang lain dari yang lain, unik dan multidimensional, bahkan adakalanya tidak dapat diterima akal orang tertentu. Tapi itulah manusia yang pemahaman kita terhadap manusia itu tidak dapat dipatok atau dikerangkeng hanya dalam satu defenisi. Pengetahuan kita terhadap manusia seluas pengetahuan itu sendiri walau pemahaman kita terhadap manusia belum tentu seluas pengetahuan itu.

Untuk lebih mengerucut kepada nilai-nilai hakiki yang hendaknya kita petik dalam setiap proses hajatan demokrasi, terutama dalam momen Pilkada maupun Pilpres hendaknya disingkirkan lah sifat dan sikap arogan yang memaksakan kehendak sendiri, jangan memaksakan orang lain berpikir dan bertindak harus sesuai dengan kerangkan berpikir tertentu karena tindakan seperti itu justru bertentangan dengan hakikat demokrasi itu. Suka tidak suka sudah layak dan pantas kita sampaikan rasa bangga atas terjadinya proses kehidupan berdemokrasi di bumi kita negeri tercinta Indonesia ini. Karena sampai hari ini belum bisa kita pungkiri bahwa sistem demokrasi lah salah  satu cara terbaik dalam sistem kehidupan berbangsa dan bernegara.

Jika sudah sepakat memilih atmosfir kehidupan berbangsa dan bernegara dengan cara demokrasi semestinya lah tumbuh berkembang sikap menghargai perbedaan dan mau serta rela menerima perbedaan karena memang manusia tercifta saling berbeda. Sampai detik ini belum ada terdengar kenyataan yang mengatakan ada manusia dua orang saja memiliki kesamaan yang persis sama satu sama lain. 

Kerelaan menghargai hakikat manusia memiliki perbedaan kiranya dalam setiap pelaksanaan pesta demokrasi pemilihan kepala daerah tidak pada tempatnya lagi meengeksloitasi dan membenturkan masyarakat kepada kerangka berpikir sempit seperti memperbesar masalah perbedaan suku, agama dan ras. Tindakan seperti itu justru akan menodai nilai-nilai hakiki demokrasi, sekaligus meniadakan keunggulan manusia yang memang sudah tercifta memiliki perbedaan dan memiliki keunikan kebutuhan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun