"Hai Zakaria, sesungguhnya Kami memberi kabar gembira padamu akan (beroleh) seorang anak yang namanya Yahya, yang sebelumnya Kami belum pernah menciptakan orang yag serupa dengan dia" ---- (QS. Maryam: 7)
Pernahkah Anda mendengar istilah "apalah arti sebuah nama ???”
Istilah tersebut sudah tidak asing bagi kita. Bahkan kita sering bertanya "siapa namanya." Ketika sedang bergurau dengan teman, atau dalam konteks yang berbeda. Namun, tampaknya bagi umat Islam, istilah tersebut tidak berlaku. Sebab nama pada hakikatnya diberikan kepada seorang anak agar ia dikenal dan memuliakannya. Oleh karena itu, ulama sepakat wajib hukumnya memberi nama pada seorang anak.
Setiap orangtua yang ingin melihat anaknya tumbuh dalam kebaikan, dibalut akhlak yang mulia, salah satu langkah awalnya adalah dengan memberikan nama yang mempunyai makna kebaikan bagi anak tersebut. Sebab nama juga merupakan sebuah doa. Oleh karena itu, Allah sangat menyukai nama-nama yang mempunyai makna kebaikan, seperti: Abdullah, Abdurrahman, Aburizal, nama-nama rasul dan nabi, nama-nama orang yang saleh, dan nama-nama yang mengandung makna kebaikan lainnya. Selain itu, Allah sangat membenci nama-nama yang mengandung makna penghambaan yang tidak disandarkan kepada-Nya, seperti: Abdu Nabi (hamba nabi) dan sebagainya. Kemudian nama-nama seperti orang kafir, serta pemimpinnya hendaknya jangan diberikan kepada anak, misalnya: Fir'un dan lain-lain. Orang tua hendaknya juga harus jeli memilih nama anaknya.Begitu juga dengan Aburizal Bakrie.
Setelah ditetapkan sebagai calon presiden dari Partai Golkar pada Juni 2012, Aburizal Bakrie menyusun berbagai program kampanye. Beberapa tim khusus dibentuk untuk mempermak tampilan dan performa Ketua Umum Partai Golkar ini.
Aburizal mendatangi kantor Tempo dengan mengajak hampir semua pengurus inti Partai Golkar pada 8 November 2013 lalu. Majalah Tempo edisi Senin, 25 November 2013 menurunkan laporan utama "Siasat Aburizal, Sang Calon Presiden Satu Digit".
Tim kampanye partai Golkar mengusung kata ARB yang merujuk pada singkatan nama Aburizal. Demi kampanye panggilan populer Ical disingkirkan, diganti dengan ARB.
Wakil Ketua Umum Golkar Sharif Cicip Sutardjo menuturkan, semula nama panggilan Ical tetap akan dipakai dengan alasan sudah populer. Namun, Aburizal tak setuju dan minta nama itu segera diganti. Sebab, Ical berarti "hilang" dalam bahasa Jawa atau "dijual" dalam bahasa Sunda.
Muncul pula usul panggilan Rizal. "Tapi sulit pengucapannya," kata Cicip. Perdebatan sempat seru karena Rizal Mallarangeng berkeras tetap menggunakan Ical. "Dengan gaya Amerikanya, dia bilang: what is a name?" ujar Cicip. Pada akhirnya, disepakati inisial ARB digunakan. [Selengkapnya, baca Majalah Tempo].
Bagaimanapun juga, nama tidak bisa dilepaskan dari seseorang. Sebagai muslim, tentunya kita harus mengerti apa arti dari sebuah nama tersebut, karena nama adalah do’a. Aburizal Bakrie atau ARB secara etimologi berasal dari bahasa Arab yang diambil dari akar kata "Abu" yang artinya bapak dan Rizal berarti laki-laki. Sedangkan Bakire merupakan nama keluarga/bapak yang melekat kepadanya. Harapan yang terkandung dalam nama "Aburizal atau ARB" tersebut adalah hendaknya kelak bisa menerangi, melindungi, mengayomi orang-orang yang ada di sekelilingnya dengan cahaya kebaikan dan penuh persahabatan.
Banyak orang menilai bahwa ARBmaju sebagai calon presiden Partai Golkar merupakan ambisi pribadi. Ini jelas sebuah penilaian yang salah. Karena sejak kecil ARB tidak pernah bercita-cita menjadi presiden. Perjalanan hidup dan pengabdian kepada bangsa lah yang mengantarkannya kepada keputusan tersebut. ARB selalu menceritakan hal ini kepada mereka yang menanyakan alasannya bersedia maju sebagai calon presiden (Capres) di berbagai kesempatan.
”Memang sejak dulu saya suka berorganisasi, mulai menjadi ketua kelas, ketua OSIS, ketua umum Senat Mahasiswa Elektro ITB, dan Ketua Dewan Mahasiswa ITB. Saya juga mendirikan HIPMI dan jadi ketua HIPMI yang ke tiga, kemudian jadi ketua umum Persatuan Insinyur Indonesiadan ketua umum Kadin. Meski selalu menjadi pemimpin di setiap organisasi, saya belum pernah terfikir untuk menjadi pemimpin bangsa ini. Saya ingat saat akan lulus SMA, saat itu tahun 1964. Saya dan teman-teman menulis surat wasiat yang berisi cita-cita kami, lalu menempatkannya di dalam box untuk kita buka pada tahun 1996. Waktu itu ada teman yang mengatakan ingin menjadi pemimpin besar revolusi (istilah presiden pada waktu itu), namun ternyata dia jadi pengusaha. Ada yang ingin berjuang bawa senjata (jadi TNI), ternyata jadi guru.
Rupanya antara cita-cita dan kenyataannya berbeda-beda. Dari semua, yang paling tepat adalah saya. Saya tulis di situ saya ingin menjadi insinyur dan pengusaha besar, dan ketika dibuka box cita-cita itu pada 1996, cita-cita saya itu tercapai. Kemudian kehidupan saya memang lebih banyak berkecimpung dalam dunia usaha.
Sampai pada 2004, Saya akhirnya masuk ke pemerintahan dan meninggalkan dunia usaha. Yang meminta saya masuk ke pemerintahan adalah Pak Jusuf Kalla. Saya memang akrab dan sering berdiskusi dengan beliau, karena saya ketua umum Kadin dan beliau pernah menjadi ketua Kadin Sulsel. Saat beliau menjadi Wakil Presiden, beliau menawarkan jabatan Menko Perekonomian kepada saya, tapi saya tolak. Kalau pun harus masuk di pemerintahan, saya hanya ingin menjadi penasihat presiden di bidang ekonomi saja. Saat itu bulan puasa dan Pak JK meminta saya pikir-pikir dulu. Malamnya setelah berbuka, beliau menelepon lagi dan bilang pada saya, bahwa saya harus masuk kabinet.
Saya ini tidak punya temen di kabinet yang dari bisnis yang mengerti pemikiran-pemikiran saya. “Kamu harus ikut, kalau mau berjuang harus basah, jangan cuma cuci-cuci muka,” kata Pak JK, yang kemudian membuat saya mau masuk pemerintahan dan menerima jabatan Menko Perekonomian.” Tutur ARB. ---[tempo.co]
Selama menjadi Menko Perekonomian banyak hal yang sudah ia lakukan. Misalnya ketika berhasil melakukan negosiasi dengan Exxon di Blok Cepu. Awalnya Exxon memiliki sebesar 30 persen dan sudah disetujui pemerintah. Tapi dia berhasil menjadikan 3,5 persen. Sehingga negara bisa mendapat 93 persen, dan sisanya 3,5 persen milik Pertamina. Dari sisi manajemannya, ia buat jika direktur utamanya Exxon, maka presiden komisarisnya harus dari Pertamina. Jika wakil direktur utama Pertamina, wakil komisarisnya Exxon, dan begitu seterusnya. Selama negosiasi, ARB terbang ke tempat-tempatnya Exxon itu pun dia tidak memakai uang negara, tapi memakai dana pribadi.[]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H