Sebagaimana telah kita pernah dengar bahwa dalam dunia persilatan politik itu, ada oknum-oknum kelas pemain politik (bukan politisi) yang menggunakan berbagai ragam cara untuk mencapai tujuan politiknya. Mulai dari cara yang paling baik hingga cara-cara yang sangat pragmatis. Tidak peduli apakah cara itu sesuai atau bertentangan dengan etika dan moral politik atau tidak.
Dalam dinamika politik praktis tersebut di atas, akhir-akhir ini sering terdengar bahwa doa-doapun kadang kala digunakan sebagai salah satu metode dalam berpolitik praktis (yang kemudian oleh sejumlah orang menyebutnya dengan istilah 'doa politik'). Kadang kala metode ini dianggap cukup efektif dalam mengelola kalangan "lugu politik" yang berhasil dieksploitasi karena berbagai keterbatasan mereka.
Baca juga: Ketika Doa Mulai Dipolitisasi
Fenomena di atas cukup menyedot perhatian warga karena pada satu sisi doa itu ditujukan kepada Tuhan, namun pada sisi yang lain, justru diharapkan agar 'doa politik' itu berefek untuk mempengaruhi kaum "lugu politik" yang turut mendengar 'doa politik' tersebut.
Terkait fenomena di atas, saya sempat mendengar percakapan menarik di kalangan warga ketika mereka ngobrol di warung kopi tentang apakah "doa politik" itu berkenan kepada Tuhan atau tidak? Dari percakapan itu, diperoleh beberapa kategori jawaban yang terangkum, sebagai berikut:
Pertama, menurut mereka, ada pihak yang sangat percaya bahwa 'doa politik' itu berkenan kepada Tuhan, sehingga sangat sering dilakukan kapanpun, dimanapun dan oleh siapa saja. Menurut kelompok ini, 'doa politik' ini akan didengar oleh Tuhan, apabila tetap dijaga kemurnian dan kesakralannya, agar benar-benar ditujukan kepada Tuhan untuk memohon pertolongan-Nya. Dengan demikian pendoa yang bersangkutan, akan mampu menjalani seluruh proses politik dengan kekuatan dari Tuhan.
Kedua, ada kelompok yang meragukan, bahkan cenderung memastikan bahwa 'doa politik' itu adalah suatu "sandiwara" yang tidak murni sebagai suatu doa sebagaimana mestinya. Katanya suatu doa yang tidak murni dari hati serta tidak sakral, hal itu bagaikan rangkaian kata-kata teratur tanpa makna.
Ketiga, ada pula pendapat yang terkesan lebih arif bahwa apakah 'doa politik' didengar Tuhan atau tidak? Katanya hanya Tuhan yang tahu persis apakah doa itu doa benaran atau sekedar 'kata-kata politik'. Jika hal itu adalah doa politikpun, hanya Tuhan yang bisa menilai dan memastikan, apakah berkenan kepada-Nya atau tidak.
Dari rangkuman percakapan di atas, dapat ditarik hikmah bahwa sesama manusia mestinya tidak berhak untuk menilai kualitas doa orang lain. Apa lagi menilai bahwa hanya doa kita yang didengar oleh Tuhan, sedangkan doa orang lain tidak didengar. Sesama manusia mesti tak usah saling menghakimi. Sebab siapakah kita ini? Kita hanya bisa mengamini apapun keputusan dan jawaban Tuhan atas doa itu, termasuk dalam hal 'doa politik'.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H