Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, arti kata 'doa' adalah permohonan (harapan, permintaan, pujian) kepada Tuhan. Dari pengertian ini dapat kita pahami doa sebagai suatu percakapan khusus oleh umat manusia kepada Tuhan sesuai agama dan keyakinannya masing-masing. Sehubungan dengan itu, biasanya doa itu bersifat sakral, penuh hormat dan bersih dari segala hal yang tidak berkenan kepada Tuhan.Namun dalam beberapa fenomena sosial politik, tampak bahwa sering kali doa sudah bernuansa politik ketimbang kesakralannya sebagai suatu komunikasi antara umat manusia dengan Tuhan. Kejadian seperti itu sering kali mengundang ragam pandangan bahkan aneka perdebatan dari sudut pandang masing-masing.
Baca juga: Tingkah Laku Para Caleg Kita
Momentum itu jelas, tidak disia-siakan oleh media massa bahkan media mainstream-pun terbawa-bawa ikut menghebohkan kejadian itu di ruang publik. Kayaknya, ambil kesempatan menaikan rating nie... hehehe...
Hal yang menarik dari sandiwara politik itu adalah doa mulai dijadikan sebagai salah satu metode dalam berpolitik. Bahkan masing-masing pihak mengklaim bahwa doanya akan dikabulkan oleh Tuhan. Sedangkan doa lawan politiknya tidak mungkin didengar oleh Tuhan. Hebatnya lagi, urusan surga dan nerakapun dikaitkan dengan pilihan politik duniawi saat ini.
Saling klaim tentang doa, surga dan neraka yang sudah mulai dipolitisasi itu, telah mengundang perdebatan sementara tuaian politiknya belum diketahui secara pasti. Namun dampaknya sudah mulai terasa terutama bagi warga yang tergolong awam dalam politik. Relasi sosial dan persaudaraan mereka mulai terganggu, bahkan ada yang mengalami gangguan berat, hingga berdampak terhadap berbagai kerugian sosial dan psikologis.
Baca Juga: Emosi Pro Kontra Politik
Terkait fenomena politisasi doa di atas, saya ingin mengajak kita untuk coba mencermati cerita berikut ini.
Konon, suatu ketika di sebuah kerajaan, mengalami suatu peristiwa penting, yaitu panglima perangnya meninggal dunia karena sakit. Akibatnya jabatan panglima perang dalam kerajaan itu kosong. Lalu Sang Raja yang terkenal baik, sabar, murah hati, adil, arif dan bijaksana itu, hendak mengangkat pengganti panglima perang melalui proses seleksi.
Menurut ketentuan seleksi yang berlaku kala itu, yakni setiap prajurit yang memenuhi syarat dapat mengajukan permohonan kepada Sang Raja, lalu menyertakan dukungan dari prajurit lainnya. Secara kebetulan saat itu hanya dua orang prajurit senior yang memenuhi syarat menjadi kandidat. Katakanlah Kandidat A dan Kandidat B.
Jauh sebelum tiba waktu penetapan panglima, dua kandidat itu sibuk mencari dukungan, serta mengajukan permohonan kepada Sang Raja, sesuai ketentuan yang berlaku saat itu. Masing-masing kandidat itu menghadap Sang Raja pada hari berbeda, yakni Kandidat A menghadap Sang Raja di hari Senin dan Kandidat B menghadap Sang Raja esoknya pada hari Selasa.
Seusai menghadap Sang Raja untuk mengajukan permohonan masing-masing, Kandidat A maupun B sama-sama mengklaim bahwa dirinya yang dipilih oleh Sang Raja untuk menduduki jabatan sebagai Panglima Perang. Rupanya dua kandidat itu beserta para pendukung masing-masing, sama-sama berambisi besar untuk meraih posisi penting sebagai Panglima Perang di kerajaan itu.