Setelah membaca tulisan yang lalu tentang Sikap Anti Kritik yang Perlu Kita Waspadai, ada beberapa pembaca memberikan pertanyaan menarik yang pada intinya sama, yakni apakah sikap anti kritik itu warisan keluarga atau bukan? Hal ini menarik untuk didiskusikan.
Baca juga: Sikap Anti Kritik yang Perlu Kita Waspadai
Mereka memiliki sejumlah argumen yang membuat mereka sampai pada pertanyaan tersebut di atas. Salah satu argumen yang dikemukakan adalah pada beberapa kasus ada kemiripan sikap dalam satu keluarga, terutama dalam satu keluarga batih. Dimana mereka rata-rata bersikap anti kritik, sehingga seolah-olah bahwa hal itu merupakan sifat turunan. Ditambahkan pula bahwa biasanya sikap anti kritik itu diperlihatkan oleh keluarga tertentu yang tergolong feodal. Katanya terdapat sejumlah contoh kasus, dimana ada oknum-oknum dari keluarga feodal yang sebenarnya sudah mengenyam pendidikan tinggi sekalipun, tetapi masih saja bersikap anti kritik.
Memiliki pandangan yang seperti tersebut di atas, dapat dipahami kalau cara analisis yang dibangun bersifat sederhana dan menggunakan cara berpikir linear. Namun hal yang sebenarnya sedang terjadi adalah sikap dan kelakuan anti kritik yang diperlihatkan dari satu keluarga itu merupakan efek lingkungan sosial. Dimana dalam interaksi keseharian selalu tertabur sikap dan kelakuan anti kritik dari satu atau dua orang anggota keluarga yang bersangkutan. Lama kelamaan sikap anti kritik itu akan tertular dan terinternalisasi dalam diri anggota keluarga lainnya. Sehingga kemudian memunculkan sikap anti kritik yang relatif sama dari sebagian besar atau semua anggota keluarga batih yang bersangkutan, bahkan dapat merambat ke dalam keluarga besar.
Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa sebenarnya sikap anti kritik itu bukan warisan keluarga yang diturunkan secara sengaja atau secara genetik. Tetapi hanya merupakan gambaran dari hasil pengaruh lingkungan keluarga yang terinternalisasi tanpa sadar. Kejadian ini biasanya diungkapkan dalam peribahasa 'buah jatuh tak jauh dari pohonnya'.
Terlepas dari benar atau tidaknya anggapan dari segelintir orang itu, pembelajaran penting dari diskusi kami saat itu, adalah:
Pertama, ada orang yang menganggap bahwa sikap anti kritik sudah menjadi ciri bahkan karakter keluarga. Hal ini akan dapat membangun sikap antipati orang terhadap semua anggota keluarga terkait. Kejadian ini akan dapat merugikan semua anggota keluarga, walaupun sangat keliru, tetapi sering kali terjadi.
Kedua, sikap anti kritik dapat merugikan pihak yang bersangkutan, karena banyak orang akan malas untuk mengeritiknya. Bahkan sebaliknya, mereka akan lebih senang memuji walaupun sebenarnya ia sedang bermasalah. Banyak orang akan berpikir tak ada gunanya memberikan saran dan kritik padanya. Hal ini jelas akan membuat pribadi yang bersangkutan akan semakin jauh terperosok dalam masalah dan kian tenggelam dalam gambut kekeliruan.
Ketiga, bagi anggota keluarga yang tidak anti kritik, akan mengeluarkan energi yang lebih besar dan membutuhkan waktu yang lebih lama untuk meyakinkan orang lain bahwa ia berbeda dengan anggota keluarga yang lainnya. Ia akan selalu terbawa-bawa seperti anggota lainnya yang diklaim sebagai pribadi anti kritik.
Baca juga: https://www.kompasiana.com/daudamaratod/5c51845a43322f068719fe73/kritik-yang-membangun
Bertolak dari uraian di atas, sikap terbuka dan rendah hati untuk menerima kritik, semestinya dibangun dan dimulai dari dalam lingkungan keluarga batih. Sudah saatnya kita yang orang tua mulai berjiwa besar untuk dikritik oleh anak-anak kita, apa lagi sebaliknya oleh orang tua terhadap anak-anaknya. Demikian pula di antara anak-anak, yang kakak terbuka terhadap adiknya dan adik terhadap kakaknya. Dengan begitu, sikap terbuka dan berjiwa besar untuk menerima kritik sudah terbina sejak dini dari dalam keluarga batih. Dari situ kita akan dapat menghasilkan generasi-generasi penerus yang terbuka terhadap kritik dan akan menjadi pewaris yang selalu siap berbenah untuk kebaikan bersama di masa yang akan datang.