Mohon tunggu...
Bambang Setyawan
Bambang Setyawan Mohon Tunggu... Operator - Operator Sekolah

Megatron MVP gess

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Boyolali: Kabupaten Tanpa Jejak "Boyo"

22 Januari 2024   09:48 Diperbarui: 22 Januari 2024   10:26 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Berada di tengah-tengah keindahan Jawa Tengah, ada sebuah kabupaten yang sepertinya memutuskan untuk membingungkan semua orang sejak awal: Boyolali. Meskipun terdengar seperti tempat kelahiran buaya yang siap menggigit, tapi nyatanya, kabupaten ini lebih terkenal dengan sapi dan susu daripada reptil galak.

Mari kita ungkap misteri di balik nama yang terkesan ambigu ini. Ada yang mengira, karena ada unsur "boyo," pasti ada hubungannya dengan buaya. Tapi, oops! Boyolali justru lebih dekat dengan sapi daripada buaya. Siapa yang tahu, mungkin buaya-buaya di sana sibuk mencari kucuran air yang lebih menarik.

Baca juga: Optimalkan Kualitas Pembelajaran dengan Pengelolaan Kinerja pada PMM

Sejak zaman dulu, Boyolali sudah menetapkan identitasnya sebagai tanah sapi dan susu. Mungkin karena mereka sadar kalau branding "boyo" akan lebih menarik daripada sekadar buaya yang biasa. Sapi dan susu menjadi bintang utama, memberikan kabupaten ini suara gemuruh yang tak bisa diabaikan. Ya, boleh dibilang, mereka lebih punya 'moo'd daripada 'roar'.

Menurut legenda lokal yang entah dari mana sumbernya, kisah ini melibatkan seorang tokoh eksentrik, Ki Ageng Pandan Arang, yang lebih dikenal sebagai Tumenggung Notoprojo, seorang Bupati Semarang di abad XVI. Oh, tentu saja, kisah ini tak lepas dari ramalan Sunan Kalijogo, karena apa legenda tanpa sentuhan ramalan dari seorang tokoh spiritual?

Baca juga: Valentine Day: Hari Kasih Sayang atau Sejarah Pahit yang Terlalu Manis?

Diceritakan bahwa Ki Ageng Pandan Arang diutus untuk pergi ke Gunung Jabalakat di Tembayat (Klaten) untuk menyebarkan agama Islam. Sebuah tugas mulia, tanpa ragu, tapi tentu saja, tidak tanpa drama dan kejadian yang membuat kepala kita tergeleng-geleng.

Perjalanan Ki Ageng ini, sungguh, layaknya sebuah telenovela yang dipenuhi intrik dan plot tak masuk akal. Meninggalkan istri dan anak-anaknya demi misi suci ini, Ki Ageng harus melewati ujian berupa rintangan dan batu sandungan. Tapi, yang menarik adalah ketika beliau dirampok oleh tiga orang yang dengan nekatnya mengira bahwa Ki Ageng membawa harta benda. Teror dramatis yang mengubah nama sebuah tempat menjadi Salatiga. Ya, konon, karena di sana Ki Ageng "salah tingkah."

Baca juga: Presiden Jokowi Terancam Impeachment: Analisis 3 Faktor Kontroversial

Perjalanan berlanjut menuju Ampel, yang kini menjadi kecamatan di Boyolali. Tempat penuh dengan pohon bambu kuning atau bambu Ampel, karena ya, logika legenda memang seperti itu. Semakin jauh perjalanan, semakin terlihat absurd dan terpisah dari kenyataan. Sambil menunggu keluarganya, Ki Ageng beristirahat di sebuah Batu Besar di tengah sungai. Kenapa di sungai? Hanya Tuhan dan legenda yang tahu.

Dan, tentu saja, momen klimaksnya adalah ketika Ki Ageng, dalam istirahatnya yang dramatis, mengucapkan kata-kata berbobot sejarah, "BAYA WIS LALI WONG IKI." Suatu frase yang terkesan seperti dialog sinetron, dan dari situlah tercipta nama Boyolali. Sebuah nama yang, tidak bisa dipungkiri, terdengar lebih mirip tagline iklan shampoo.

Baca juga: Beasiswa LPDP 2024: Kepo Banget Buat Kamu yang Mau Jadi Bos Besok!

Tapi, tentu saja, bagaimana kita bisa melewatkan batu-batu ajaib yang menjadi saksi bisu perjalanan Ki Ageng Pandan Arang? Batu besar di Kali Pepe, yang katanya mungkin menjadi tempat beristirahat Ki Ageng. Apakah batu ini memiliki kisah dan keajaiban? Mungkin ya, mungkin tidak. Tidak ada yang tahu, dan sepertinya tidak ada yang peduli.

Lebih absurd lagi, sebuah batu besar di depan Pasar Sunggingan Boyolali, konon dulu tempat beristirahat Nyi Ageng Pandan Arang. Nyi Ageng, sepertinya, memiliki hobi mengetuk-ngetukkan tongkatnya di batu ini, dan tiba-tiba batu tersebut berubah menjadi berlekuk-lekuk mirip dakon, mainan anak-anak tempo dulu. Dan, voila! Masyarakat setempat menyebutnya mBah Dakon, menghormatinya, dan tak ada yang berani mengusiknya. Logika legenda yang seperti tidak masuk akal, tapi ya begitulah.

Baca juga: Mengganti Puasa Ramadhan: Niat dan Persiapan yang Perlu Diperhatikan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun