Prancis, negara mode, kuliner, dan politik yang selalu memunculkan kejutan baru. Belum lama ini, Presiden Prancis, Emmanuel Macron, dengan penuh dramatis memperkenalkan perdana menteri baru, Gabriel Attal. Sebuah langkah yang cukup mengguncang politik Prancis, mengingat Attal bukan hanya wajah baru, tetapi juga merupakan perdana menteri termuda dalam sejarah Prancis yang baru berusia 34 tahun.
Perombakan ini terjadi setelah pengunduran diri Elisabeth Borne, yang selama dua tahun memimpin pemerintahan Prancis. Tentu, Prancis memilih menyambut kehadiran Attal dengan suasana yang penuh dinamika, apalagi mengingat masa jabatannya yang dimulai menjelang Olimpiade Paris dan pemilihan parlemen yang cukup menantang.
Attal bukanlah sosok yang asing di kancah politik Prancis. Sebelum mengepakkan koper ke kantor perdana menteri, Attal telah menjabat sebagai menteri pendidikan. Namun, sekarang dia menjadi sosok yang bakal "menanggung akibatnya" sebagai perdana menteri.
Menariknya, Attal menjadi perhatian utama karena bukan hanya usianya yang muda, tetapi juga karena latar belakang dan kepribadiannya yang unik. Sebagai bagian dari Partai Sosialis sejak usia 17 tahun, dia telah menempuh perjalanan politik yang cukup menarik, terutama ketika menjadi juru bicara pemerintah selama pandemi Covid-19.
Pencapaian ini membawa Attal pada posisi menteri junior di kementerian keuangan dan kemudian naik pangkat menjadi menteri pendidikan pada tahun 2023. Dalam waktu singkat, dia menjadi salah satu menteri yang paling cerdas dan komunikator yang lancar di dalam kabinet Macron. Bahkan, menurut jajak pendapat terbaru, dia berhasil menyaingi popularitas Edouard Philippe, calon presiden yang cukup dikenal.
Namun, kemampuan Attal tidak hanya terlihat di dunia politik. Dia juga dikenal sebagai sosok yang terbuka dengan identitasnya. Pernyataan dirinya sebagai seorang gay disampaikan secara terbuka tak lama setelah bergabung dengan pemerintahan pada tahun 2018. Hal ini menjadi sorotan publik, mengingat Prancis sebagai negara yang dikenal dengan pandangan progresif terhadap hak-hak LGBT.
Namun, ketegasan Attal tak hanya terfokus pada aspek pribadinya. Ketika menjabat sebagai menteri pendidikan, dia membuat keputusan kontroversial dengan mengumumkan larangan pemakaian abaya di ruang kelas. Pandangan ini mengundang pro dan kontra, menguji sejauh mana sekularisme di sekolah negeri Prancis.
Mengingat Attal merupakan sosok dengan latar belakang yang beragam, kebijakan-kebijakan yang diambilnya juga tercermin dari pengalaman pribadinya. Terlebih lagi, dia tak segan untuk berbicara terbuka mengenai isu perundungan yang pernah dia alami saat menempuh pendidikan di sekolah swasta bergengsi di Paris. Bahkan, pelecehan homofobik juga pernah menjadi bagian dari perjalanan hidupnya.
Profil pribadi Attal semakin menarik ketika kita melihat keberagamannya. Ayahnya, Yves, adalah keturunan Yahudi Tunisia yang bermigrasi selama Perang Dunia II. Dibesarkan sebagai seorang Kristen Ortodoks oleh ibunya yang berasal dari Rusia, Attal membawa warisan budaya yang kaya dalam setiap langkahnya.
Setelah resmi diangkat menjadi perdana menteri, Attal langsung mengambil peran dengan penuh semangat. Ia mengunjungi daerah yang dilanda banjir di Prancis utara untuk menunjukkan solidaritas seluruh negara. Komitmen untuk membangun kembali daerah yang terkena dampak banjir menjadi janji penuh harapannya, menjanjikan sumber daya yang luar biasa untuk mendukung pemulihan.