Mohon tunggu...
Dasuki Sikki
Dasuki Sikki Mohon Tunggu... -

Resep panjang umur yang diajarkan oleh agama adalah menjalin hubungan silaturrahim dengan sesama umat manusia, tanpa membedakan suku, agama dan ras. Bergabung di kompasiana untuk menambah ilmu dan pengetahuan, sembari belajar untuk berpendapat dan menghargai pendapat orang lain.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Sang Pemetik Teh

9 Maret 2010   15:15 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:31 1277
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_89938" align="alignleft" width="300" caption="Perk.Gn.Mas - Google"][/caption]

Selesai sholat subuh saya langsung mepersiapkan diri untuk suatu aktivitas yang sudah jarang saya lakukan beberapa tahun terakhir ini, yakni meninjau langsung pemetikan pucuk teh di kebun.Saya terpaksa turun gunung lagi (kenyataannya kegiatan hari ini justru naik gunung) karena adanya permintaan dari produksen-produsen teh di Jawa Tengah yang menginginkan kualitas teh yang lebih baik lagi. Setelah mematut diri sejenak didepan cermin ,saya, pak bambang dan mandor kebunbergegas meninggalkan rumah menuju ke lokasi perkebunan teh yang akan dipetik hari ini . Pak Bambang ini adalah orang yang saya serahi untuk mengelola pabrik. Kalau diperusahaan-perusahaan besar biasa disebut Factory Manager, tapi diperusahaan saya cukup disebut kepala pabrik saja.

Lokasi kebon teh ini terletak di kampung Neglasari,desa gunung sari, kecamatan Sukanagara, kabupaten Cianjur. Letaknya kurang lebih 35 km dari kota cianjur. Ketinggiannya kurang lebih 900 meter diatas permukaan laut. Di kecamatan Sukanagara ini terdapat beberapa lokasi perkebunan teh baik yang dimiliki oleh perkebunan Negara(PTPN) juga oleh petani-petani kecil – teh yang dihasilkan petani-petani kecil ini sering juga disebut teh rakyat. Kualitas teh yang dihasilkan daerah ini menonjol dalam hal kepekatan air seduhannya dan rasanya yang sedikit manis,sehingga produsen-produsen teh kemasan di jawa tengah banyak yang menyukai produksi teh dari daerah ini. Walaupun sedikit dibawah kualitas teh dari daerah pangalengan dan ciwidey, Bandung.

Kami tiba di lokasi jam 05.40 . Kabut masih menyelimuti area teh yang menghampar. Kaos tangan dan kupluk(penutup kepala dari rajutan benang wol)yang saya kenakan tidak mampu menghalau udara dingin yang menusuk. Ada sepuluhorang pemetik teh yang datang, kesemuanya wanita. Usia mereka menurut taksiran saya rata-rata diatas 40 tahunan, bahkan ada yang mendekati lima puluh tahun. Kecuali ada dua orang yang umurnya mungkin dibawah tigapuluh tahun. Setelah mendapat pengarahan singkat dari mandor kebun, merekapun mulai menyebar disela-sela tanaman-tanaman teh. Tangan-tangan mereka yang menjepit alat pemotong pucuk yang disebut etem – atau anai-anai yang dulu dipakai petani untuk memanen padi- menari-nari diatas pucuk-pucuk pohon teh. Mereka berpindah dari satu pohon ke pohon yang lain, bergerak serempak layaknya dalam satu barisan. Semakin lama semakin menjauh dari lokasi semula. Satu demi satu menghilang dari dari pandangan, ditelan kabut yang masih menggantung.

Pak Bambang membuka bekal dari isterinya dan mengajak kami sarapan. Nasi timbel yang harum, ikan gabus asin yang gurih ditambah sambal dan lalapan, terasa begitu nikmat. Selesai sarapan sambil menikmati kopi hangat mandor kebun mulai bercerita tentang pemetik-pemetik teh tadi.

Mereka adalah pekerja lepas yang tidak terikat hubungan kerja secara formal dengan perusahaan atau pemilik kebun. Mereka bebas untuk bekerja pada perusahaan atau pemilik kebun manapun, kecuali untuk perkebunan milik Negara atau PTPN. Seperti layaknya buruh tani lainnya mreka bekerja sesuai dengan jadwal petik suatu perkebunan yang rata-rata antara 10 – 14 hari. Artinya suatu areal perkebunan mempunyai siklus petik antara 10 – 14 hari. Untuk menyiasati siklus petik ini agar mereka bisa bekerja setiap hari maka mereka yang biasanya terdiri dari 7 – 15 orang melayani dua sampai tiga perkebunan.

Gambaran singkatnya begini, Perkebunan A luasnya 3 ha. Hasil panen perkebunan ini dalam kondisi normal +/- 2.250 kg pucuk. Kempampuan maksimal seorang pemetik rata-rata 50 kg/orang.Hal ini bukandisebabkan oleh cara kerja mereka, tapi karena jam kerja mereka yang dibatasi maksimal sampai jam 9 pagi. Pembatasan jam petik ini berhubungan langsung dengan kualitas pucuk. Apabila kebun A tersebut mempekerjakan 15 orang setiap harinya maka pemetikan selesai dalam 3 hari. Pemetikan selanjutnya akan dilakukan 7 - 10 hari kemudian. Dalam mengisi waktu tunggu pemetikan berikutnya, kelompok ini akan berpindah kekebun B, C dan seterusnya sampai tiba masa petik kembali di kebun A.Bisa dibayangkan apabila seorang pemetik hanya mampu bekerja pada satu kebun saja, karena factor jarak satu kebun dengan kebun lain yang berjauhan atau karena factor usia, maka dia hanya mempunyai Sembilan hari kerja dalam satu bulan. Dengan upah petik saat ini sebesar Rp.350,- perkilogram dan kemampuan petiknya sampai 50 kg, maka penghasilan dia dalam satu bulan tidak lebih dari Rp.157.500,- Suatu jumlah yang sangat menyedihkan.

Tidak terasa pagi sudah mulai beranjak, jam sudah sudah menunjukkan pk. 08.30. Satu-satu pemetik itu mulai berdatangan sambil membawa hasil petikannya. Ada yang membawa dengan di suhun (diletakan diatas kepala) ada juga membawanya dengan digandong (diletakkan dipunggung). Pakaian mereka yang berlapis-lapis dan tampak kumal telah basah kuyup oleh embun bercampur keringat. Mereka berjalan beriringan menuju ke pabrik yang berjarak lebih dari satu kilometer. Setelah ditimbang oleh mandor pabrik mereka menerima bayarannya hari ni dengan dengan raut muka sumringah, dan tak lupa diiringan dengan ucapan “ Alhamdulliah….. Hatur nuhun juragan…..”. Saya sama sekali tidak menangkap kesan sedih di wajah mereka. Inilah potret orang-orang kmpung yang sederhana dan lugu. Mereka menerima hasil jerih payahnya, sekecil apapun itu menurut ukuran kita, selalu dengan rasa syukur dan terima kasih kepada Sang Maha Pemberi rezeki.

Nah, teman-teman kompasianersapabila anda menikmati secangkir teh, entah di rumah bersama keluarga atau di café-café, tidak ada salahnya sambil menghirup teh anda menyempatkan sedikit waktu untuk mengingat kepada orang yang berjasa menghadirkan teh yang anda nikmati itu dihadapan anda, yakni sang pemetik teh.

Salam secangkir teh

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun