Â
Guru honorer merupakan salah satu bagian integral dari sistem pendidikan Indonesia. Mereka berperan dalam  menciptakan kualitas pendidikan bagi generasi muda, namun demikian mereka sering terjebak dalam lilitan ketidakadilan yang sulit mendapat solusi.
Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS), yang kemudian diperbaharui dalam Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2012, honorer didefinisikan sebagai seseorang yang diangkat oleh Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) atau pejabat lain dalam pemerintahan untuk melaksanakan tugas tertentu pada instansi pemerintah atau yang penghasilannya menjadi beban APBN atau APBD.
Guru honorer adalah guru yang bekerja secara kontrak atau tidak memiliki status pegawai negeri. Mereka umumnya berjuang dengan gaji yang rendah, ketidakpastian pekerjaan, dan keterbatasan akses terhadap manfaat dan perlindungan sosial. Meskipun mereka memiliki keahlian dan dedikasi yang sama dengan guru tetap, namun kesejahteraan hidup guru honorer masih kurang diperhatikan. Gaji honorer yang diterima tidak mencukupi kebutuhan sehari-hari.
Selain itu, guru honorer seringkali tidak memiliki kepastian pekerjaan. Mereka berstatus sebagai pekerja (pengajar) kontrak dengan batas waktu yang tidak pasti, sehingga sulit untuk merencanakan masa depan dan menciptakan stabilitas kehidupan mereka.Â
Di samping ketidakpastian pekerjaan dan gaji yang rendah, guru honorer juga menghadapi keterbatasan akses terhadap manfaat dan perlindungan sosial. Guru honorer tidak memiliki hak yang sama dengan guru tetap, seperti jaminan pensiun, tunjangan kesehatan, dan jaminan kecelakaan kerja. Realitas guru honorer dalam lingkaran ketidakadilan ini bisa menjadi salah satu faktor penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia.
Ketidakpastian pekerjaan dan kurangnya jaminan kesejahteraan hidup bagi guru honorer dapat mempengaruhi motivasi kerja dan kinerja guru, sehingga berdampak pula pada prestasi belajar siswa.
Sekalipun guru honorer tetap mendapatkan hak honorarium bulanan, cuti sebagaimana tertera dalam Undang-undang ketenagakerjaan, dan perlindungan hukum, namun gaji pokok yang diperoleh oleh guru honorer tidak sebanding dengan gaji guru PNS. Hal ini menimbulkan ketimpangan atau ketidakadilan sosial.
Menghadapi masalah tersebut, Manteri Pendidikan Mas Nadiem Makarim menyebutkan bahwa selama enam bulan ini pemerintah telah melakukan diskusi untuk mencari jalan solusi tentang masalah guru honorer. Diskusi tersebut akhirnya menghasilkan tiga pilar yang rencananya akan diimplementasikan secara tetap pada 2024 dan menghapus sistem guru honorer per November 2023.Â
Tiga pilar tersebut dirancang sebagai jalan keluar sistem rekrutmen guru yang meliputi konsep Marketplace Guru, yakni pertama: kumpulan database guru-guru yang kredibel untuk mengajar, kedua: direct recruitment oleh sekolah untuk mengganti sistem rekrutmen yang terpusat oleh pemerintah, dan ketiga: pemerataan tenaga didik agar sekolah-sekolah dengan formasi yang tidak banyak peminatnya dapat terisi (Kompas, 2023).
Hal yang harus diperhatikan bahwa tujuan utama Marketplace Guru tersebut, yakni meratanya tenaga didik ke seluruh sekolah dan mengisi kekosongan pengajar, tidak akan tercapai jika jika masih terdapat praktek nepotisme yang dilakukan oleh kepala sekolah dan yayasan pendidikan yang berwenang langsung dalam pengangkatan guru. Tindakan tersebut akan menghalangi kelancaran proses Marketplace Guru seperti guru yang telah lulus passing grade PPPK, namu tidak segera ditempatkan atau ditugaskan.