Â
Toleransi Hari Raya
Tahun ini, perayaan Nyepi dan Ramadan, jatuh pada hari yang hampir besamaan yakni tanggal 22 untuk Hari Raya Nyepi dan tanggal 23 sebagai pembukaan bulan puasa Ramadan. Kompasiana pun menjadikan ini sebagai Topik Pilihan, dan mengajak kompasianer untuk berbagi inspirasi dalam memaknai kedua perayaan ini dengan mengusung tema "Nyepi dan Ramadan: Indahnya Toleransi".
Sebagaimana biasanya, umat Hindu akan mengadakan Nyepi selama 24 jam mulai Rabu-Kamis (22-23 Maret). Sementara itu pada saat yang sama, umat muslim diperkirakan akan mengadakan tarawih hari pertama pada Rabu malam, tanggal 22 Maret. Hari Raya Nyepi ditandai dengan menjaga suasana hening, sunyi, sepi. Hal ini tentu berbeda dengan suasana tarawih.
Di sinilah dibutuhkan sikap toleransi untuk saling menghargai satu sama lain dalam keberagaman. Pemerintah Bali yang masyarakatnya sebagian besar beragama Hindu, telah mengeluarkan beberapa kebijakan dalam rangka perayaan ini. Pada intinya pemerintah, sesuai dengan amanat konstitusi memberikan kesempatan kepada semua warga untuk tetap menjalankan ibadah mereka dengan tetap saling menghargai satu sama lain. Kedua perayaan ini menjadi kesempatan bagi kita untuk memaknai arti toleransi di tengah masyarakat yang majemuk dan plural. Namun satu hal yang hendaknya menjadi prinsip kita bersama, bahwa:
Toleransi yang sesungguhnya bukan hanya soal perayaan besar di hari yang sama, tetapi damai yang erat dengan sesama, setiap hari.
Selain umat Hindu yang merayakan Nyepi, dan umat Islam yang merayakan Ramadan (bulan puasa), saat ini pun umat Katolik sedang berada dalam masa puasa (Prapaskah). Lantas, apa yang dimaksudkan denan masa puasa umat Katolik, bagaimana praktek puasa dalam Katolik? Berikut ulasannya.
Sekilas tentang Puasa dalam Agama Katolik
Dalam Gereja Katolik, puasa berarti makan kenyang hanya satu kali dalam sehari. Puasa bukan berarti tidak makan sama sekali atau menunda jam makan, melainkan dalam sehari hanya bisa makan sekali kenyang. Hal ini dilakukan selama 40 hari selama masa Prapaskah (40 hari sebelum Hari Raya Paskah). Umat yang wajib puasa adalah mereka yang sudah bersusia 18-60 tahun. Selain puasa, dalam Gereja Katolik juga dikenal dengan istilah pantang. Pantang berarti tidak makan atau tidak melakukan hal yang paling mengikat, suatu kecenderungan atau hal yang selama ini paling disukai. Misalnya pantang sambal, merokok, main game, minum miras, dll.
Pantang dan puasa merupakan latihan rohani untuk mendekatkan diri dengan Tuhan dan membangun relasi yang baik dengan sesama. Puasa dan pantang menjadi tanda pertobatan, sarana bagi manusia untuk menyangkal diri dari kesenangan duniawi atau kecenderungan terhadap dosa. Puasa menjadi kesempatan bagi umat Katolik untuk bisa menahan diri dari godaan. Ketahanan diri terhadap godaan, justru akan memurnikan motivasi seseorang melakukan puasa.
Oleh karena itu, ketika mereka sedang berpuasa, mereka tidak akan melarang orang lain makan di hadapan mereka. Ketika mereka sedang melakukan pantang, mereka tidak akan melarang orang meminum miras atau merokok di hadapan mereka. Semakin orang lain melakukan hal itu di hadapan mereka, justru semakin baik, karena di situlah imannya diuji, motivasinya ditantang, apakah bisa mengendalikan hawa nafsu untuk mengikuti godaan itu atau tidak. Kemenangan akan dirayakan dengan penuh sukacita ketika seseorang berhasil melewati semua godaan yang dihadapi. Yesus sendiri berpuasa selama 40 hari di padang gurun dan dalam masa puasa itu, Ia banyak dicobai oleh iblis.
Masa puasa (Prapaskah) hanya berlansung selama 40 hari, tetapi godaan dan tantangan berlaku sepanjang hidup. Dengan latihan hidup rohani selama masa puasa, diharapkan agar berbuah dalam hidup di hari-hari selanjutnya. Hal utama yang harus disucikan dalam masa tobat adalah hati dan pikiran. Tidak makan, tidak minum, pantang daging, pantang rokok, dll, hanyalah sarana. Yang paling penting dalam puasa dan pantang adalah upaya untuk menata diri menjadi lebih baik dalam relasi terhadap Tuhan, sesama dan alam semesta.