Tatkala mentari mengupas kelopakmu dan membuatmu berkedip, katupan kuncupmu mulai mekar hingga membuatku membelalak karena terpesona oleh ketampananmu. Tetapi saat kamu tahu aku ingin memotretmu, kamu malah tak banyak bertingkah seperti halnya manusia yang tahu bahwa dirinya sedang dikagumi.
Malah dari sudut bibir kemuningmu kau berucap, "di waktu pagi aku berkembang dan bertumbuh, tetapi di waktu petang aku akan lisut dan layu". Rupanya kamu telah lama menginspirasi pemazmur untuk mengingatkan manusia bahwa hidup ini cuma sementara dan tidak akan abadi sehingga tdk perlu terlalu banyak bertingkah karena kemolekan dan "ke-serba-punyaan".
Baru saja aku ingin berpamitan dan mengucapkan terima kasih karena engkau sudah mengajariku tentang arti kehidupan, aku terpaksa harus berhenti sesaat lagi. Maaf, kini bukan lagi dirimu yang dipandang. Tatapan teman yang ada di sekitarmu menggoda untuk mengalihkan pandanganku. Mereka tidak bisa mengeluarkan kembang indah yang mengagumkan seperti dirimu.
Mereka hanyalah rumput biasa dan kemudian sedikit dilecehkan dengan menyematkan kata "liar" sebagai pelengkap nama mereka. Lengkapnya, rumput liar. Awalnya mereka menatapku dengan tatapan tajam, lalu perlahan menunduk lesuh dan tersipu malu. Bisa jadi mereka pun ingin mengatakan hal yang sama karena ingat akan seruan Yesaya "Rumput menjadi kering, bunga menjadi layu, tetapi Firman Allah tetap untuk selamanya" (Yes 40:8).
Ingin rasanya kubercakap lebih lama lagi, khususnya tentang Firman Allah yang abadi itu, namun tetes-tetes kecil yang keluar dari pori-pori langit, seakan ingin mengusirku untuk segera beranjak. Apakah tetesannya ingin menyejukan dan menghibur bunga dan rumput yang sedang galau. Atau ini justru ungkapan kesedihan karena ingat akan nasib dirinya, sebagaimana sudah dikatakan Sang Sabda: "Langit dan bumi akan berlalu, tetapi perkataan-Ku tidak akan berlalu" (Mat 24:35).
Sambil tersipu malu, mereka telah menitipkan pesan yang sama tentang mana yang sementara dan mana yang abadi. Sekarang, giliran aku dan kamu yang seharusnya malu, jika kita menjalani hidup ini seolah-olah akan abadi.
Selamat mengakhiri tahun 2022 dan menyongsong tahun baru 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H