Ketidaksetiaan terhadap sifat monogami bisa saja terjadi dalam kehidupan perkawinan berupa perselingkuhan, perzinahan, kumpul kebo, dan sebagainya.Â
Namun, perlu dicatat bahwa apabila perselingkuhan atau perzinahan itu terjadi semata-mata sebagai pelanggaran terhadap komitmen kesetiaan, hal ini tidak mempengaruhi kesepakatan awal, sekalipun dapat dijadikan dasar dan motivasi untuk perpisahan suami-istri (Kanon 1152).Â
Tetapi, jika ketidaksetiaan itu merupakan kehendak positif yang bersangkutan sejak awal pernikahan untuk membagikan secara bebas kehidupan seksualitasnya dengan pria atau wanita lain.
Maka perkawinan itu harus dianggap tidak sah sejak semula berdasarkan cacat kesepakatan, karena yang bersangkutan memasuki perkawinan dengan konsep dan kehendak yang bertentangan dengan kekhasan hakiki perkawinan itu sendiri.
Indissolubilitas (Tak Terceraikan)
Sifat indissolubilitas menunjukkan bahwa ikatan perkawinan bersifat absolut, eksklusif dan berlangsung seumur hidup, serta tidak bisa diputus selain oleh kematian.Â
Sering orang beranggapan bahwa sifat perkawinan yang tak-terputuskan ini mengurangi atau menghilangkan kebebasan manusia.Â
Apabila jika perkawinan tidak bisa membahagiakan, sifat tak terputuskan itu menjadikan perkawinan sebagai suatu malapetaka atau siksaan yang berkepanjangan.
Dalam tubuh Gereja sendiri terjadi perdebatan teologis mengenai sifat tak-terputuskan ini, khususnya setelah Konsili Vatikan II. Kenneth R. Himes, seorang teolog dan James A. Coriden, seorang ahli hukum kanonik, mengusulkan agar sifat tak-terputuskannya perkawinan direvisi dan dimodifikasi kembali.Â
Salah satu argumen yang sangat menonjol dari mereka adalah bahwa "Yesus memang menolak dan menentang perceraian, serta menganggap perkawinan setelah perceraian sebagai sebuah perzinahan.Â
Ketika Yesus melarang bercerai, Ia tidak bermaksud mengantisipasi apa yang kemudian akan diajarkan oleh Gereja-Nya. Jadi ajaran itu harus dibaca dalam konteks pewartaan-Nya mengenai Kerajaan Allah. Karena itu Gereja seharusnya memahami kata-kata Yesus ini bukan sebagai norma hukum, melainkan sebagai kata-kata profetis dan mesianis".